PBB (ANTARA News/AFP) - Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Ban Ki-moon mencatat "dengan senang" kesepakatan persatuan baru antara faksi-faksi Palestina Hamas dan Fatah, tetapi sedang menunggu rincian kesepakatan itu, kata juru bicaranya Minggu.

Ban membahas kesepakatan itu pada Sabtu dengan Menteri Pertahanan Israel dan Wakil Perdana Menteri Ehud Barak, yang menyatakan kekhawatiran tentang keterlibatan Hamas dalam pemerintah persatuan nasional Palestina.

"Sehubungan dengan persatuan Palestina, sekretaris jenderal mencatat dengan senang bahwa pemahaman telah dicapai antara Fatah dan Hamas sebagaimana diumumkan di Kairo," kata juru bicara PBB Martin Nesirky.

Ban "menunjukkan bahwa PBB akan mempelajari perjanjian dengan hati-hati sekali pada saat rinciannya tersedia" dan mencatat keprihatinan Israel, kata juru bicara menambahkan.

Israel pada Minggu menunda transfer pajak Palestina dan biaya bea cukai kepada Otorita Palestina setelah kesepakatan rekonsiliasi ditengahi Mesir itu.

Barak mengatakan para pemimpin dunia dan PBB harus "melampirkan syarat-syarat untuk kerja sama dengan pemerintah persatuan Palestina" sehingga sejalan dengan tuntutan Kuartet Timur Tengah untuk perantaraan kesepakatan damai.

Diplomatik Kuartet yang terdiri - PBB, Amerika Serikat, Rusia dan

Uni Eropa - telah menuntut mengakhiri kekerasan dan pengakuan Israel sebagai negara. Namun Hamas menolak untuk mengakui Israel dan serangan roket terhadap Israel bulan lalu menewaskan seorang remaja negara Yahudi itu.

Ban "menekankan perlunya kemajuan ke arah persatuan Palestina dalam rangka Otorita Palestina yang dipimpin oleh Presiden Mahmud Abbas dan komitmen dari Organisasi Pembebasan Palestina," kata jurubicara itu.

"Dia menyambut baik upaya-upaya itu, termasuk kontribusi penting Mesir".

Ban mengatakan harus ada "rekonsiliasi" yang mempromosikan "perdamaian, keamanan dan non-kekerasan."

Dalam pembicaraan dengan Barak, Ban menyatakan "kekhawatiran" pada kebuntuan pada perundingan antara Israel dan Palestina, yang membeku sejak September ketika Israel menolak untuk memperpanjang moratorium permukiman Yahudi di tanah Palestina yang dicaplok pada perang 1967.

"Perundingan lanjutan setelah itu tidak diinginkan oleh kedua pihak," kata pemimpin PBB. (AK/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011