Diharapkan rekomendasi ini menjadi pijakan bagi pengelolaan lingkungan menghadapi dampak perubahan iklim,"
Jakarta, 10/5 (ANTARA) - Forum Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (CSF) merekomendasikan enam poin untuk mendorong keadilan iklim yang dihasilkan dalam ASEAN People Forum 2011 yang diharapkan menjadi prinsip atau pijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

"Diharapkan rekomendasi ini menjadi pijakan bagi pengelolaan lingkungan menghadapi dampak perubahan iklim," kata Manajer komunikasi dan media CSF, Ina Nisrina yang dihubungi dari Jakarta, Selasa.

Ina Nisrina mengatakan, prinsip pengelolaan lingkungan dalam menghadapi dampak perubahan iklim tidak boleh lepas dari empat prinsip yaitu tidak boleh mengabaikan keselamatan manusia, utang ekologi atau krisis-krisis lingkungan yang terjadi tidak lepas dari peran negara maju, tidak mengabaikan hak-hak masyarakat dan perubahan pola produksi konsumsi.

Lebih lanjut dia mengatakan, enam rekomendasi tersebut yaitu pertama, anggota ASEAN harus secara kuat meminta negara-negara industri untuk melakukan pemotongan emisi secara drastis melalui tindakan dalam negeri (bukan offset) dan harus ada kesepakatan yang mengikat secara internasional.

Negara-negara ASEAN harus memiliki posisi yang kuat melawan keterlibatan Bank Dunia dan lembaga pendanaan internasional lainnya. ASEAN harus memastikan pengelolaan Green Climate Fund terlaksana secara demokratis, transparan dan akuntabel dan harus menjamin pendanaan iklim tidak dalam bentuk utang-utang dan instrumen yang menciptakan utang, tidak boleh mengganggu kedaulatan nasional.

Rekomendasi kedua, mengembangkan instrumen Kerangka Perubahan Iklim ASEAN dengan perspektif keadilan iklim dan keadilan gender serta memastikan standar pengamanan untuk melindungi hak-hak perempuan.

Pemerintah ASEAN juga harus memiliki strategi adaptasi yang lebih harmonis dan komprehensif yang mengakui keragaman kebutuhan dan kondisi masyarakat, daerah dan mengatasi kondisi tertentu yang dihadapi daerah. Kebijakan dan program harus spesifik untuk setiap komunitas tertentu.

Ketiga, menolak perbaikan teknologi seperti pembangkit listrik tenaga nuklir dan biomassa, serta menyerukan denuklirisasi ASEAN dan pembatalan rencana untuk mempromosikan energi nuklir.

Keempat, membatalkan inisiatif mitigasi berbasis pasar Blue Carbon Fund, karena terbukti tidak didukung kekuatan ilmiah. Pemerintah terlebih dahulu melengkapi argumentasi solusi krisis iklim, sembari memperkuat upaya penegakkan hukum lingkungan, utamanya pada daerah-daerah yang rawan tindak pencemaran laut dan pengrusakan ekosistem pesisir.

Kelima, mengakui dan mendukung inisiatif lokal yang ramah lingkungan serta sesuai dengan budaya, praktik-praktik tradisional petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan sebagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kegiatan ekstraktif seperti pertambangan, yang mempengaruhi ketahanan masyarakat petani dan nelayan harus dihentikan.

Keenam, mengadopsi mekanisme regional dan membangun kapasitas untuk penilaian yang baru, teknologi yang muncul atau yang tidak teruji berdasarkan prinsip pencegahan dengan partisipasi penuh dari masyarakat sipil dan masyarakat untuk melihat potensi dampak bagi lingkungan, kesehatan lingkungan dan sosial ekonomi, termasuk implikasi lintas batas.

Rekomendasi tersebut dihasilkan melalui agenda pertemuan tahunan masyarakat sipil ASEAN 2011 (APF 2011), dimana CSF bekerja sama dengan sejumlah organisasi negara ASEAN telah menyelenggarakan dua putaran lokarya yang menghadirkan narasumber dari Indonesia, Jepang, Vietnam dan Filipina yang dihadiri sekitar 50 peserta perwakilan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil negara anggota ASEAN.

Lahirnya rekomendasi tersebut melihat luasnya dampak perubahan cuaca ekstrim terhadap komunitas. Tercatat selama Januari-September 2010 sedikitnya 68 nelayan tradisional dinyatakan hilang dan meninggal dunia akibat cuaca ekstrim.

Memasuki Januari-Februari 2011, 32 jiwa di antaranya hilang dan seorang meninggal. Ditambah lagi dalam kurun 1996-2006, rata-rata 265.799 hektare lahan mengalami kekeringan dan 44.579 hektare gagal panen setiap tahunnya.

Maka keterlibatan pro aktif masyarakat sipil di tingkat regional dan nasional menjadi hal krusial saat proses perumusan rencana dan strategi perubahan iklim. Untuk itu, penting mempertemukan suara masyarakat ASEAN dalam konteks Perubahan Iklim.
(D016/A011)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011