Yogyakarta (ANTARA News) - Serikat pekerja media di Indonesia belum banyak diminati kalangan jurnalis, karena mereka menganggap bekerja sebagai profesional, bukan buruh.

"Padahal faktanya banyak persoalan ketenagakerjaan di perusahaan media, sehingga kehadiran serikat pekerja media (SPM) sebenarnya sangat dibutuhkan," kata salah seorang aktivis SPM Syaiful Arifin dalam diskusi bertema `Jurnalis buruh atau bukan?`, di Yogyakarta, Sabtu.

Dalam diskusi yang diselenggarakan Forum SPM Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta itu, ia mengatakan keberadaan serikat pekerja media sangat penting, mengingat banyaknya persoalan ketenagakerjaan di perusahaan media yang tak kunjung selesai.

Menurut dia, di Indonesia isu SPM belum memperoleh tempat di perusahaan media. Alasannya, jurnalis masih menganggap dirinya sebagai profesional, bukan buruh.

"Jika alasannya seperti itu, artinya tidak berkaca dari para pekerja di sektor perbankan, di mana sebelum krisis moneter, mereka begitu `seksi` karena enggan disamakan dengan buruh manufaktur," katanya.

Tetapi, kata Syaiful, begitu krisis moneter menerpa, dan banyak bank melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerjanya, barulah mereka sadar bahwa serikat pekerja penting keberadaannya dalam perusahaan untuk memperjuangkan nasib mereka.

Aktivis SPM dari Surakarta itu mengatakan kini para pekerja di sektor perbankan termasuk yang aktif memanfaatkan serikat pekerja untuk memperjuangkan kepentingannya.

"Demikian pula dengan serikat pekerja BUMN yang aktif dalam memperjuangkan kepentingan anggotanya. Bahkan, mereka berani melawan ketika kebijakan pemerintah merugikan rakyat atau anggota serikat pekerja BUMN," katanya.

Menurut dia, Federasi SPM juga perlu dibentuk, dengan didasari kenyataan masih rendahnya kesadaran pekerja untuk berserikat, maraknya kebijakan konvergensi industri media, dampak krisis global terhadap industri media, upah layak, dan kontrak `outsourcing`.

"Selain itu, juga karena lingkungan kerja di industri media masih melanggar Undang-undang dan kode etik," kata Syaiful Arifin.

Menurut dia, solusi dari semua itu adalah pembentukan serikat pekerja di perusahaan media, karena kesejahteraan pekerja tidak bisa didapatkan dari belas kasihan, tetapi harus diperjuangkan.

"Hingga 2010, AJI mencatat sudah 28 serikat pekerja media lahir, baik yang menggunakan nama lain, maupun yang secara tegas menyebut diri sebagai serikat pekerja," katanya.(*)

(U.H008/M008)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011