Jakarta, 1/6 (ANTARA) - Kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa tokoh spiritual Anand Krishna hampir dipastikan hanya rekayasa. Kasus yang bermula dari pengaduan salah satu peserta program di Anand Ashram, Tara Pradipta Laksmi (19) itu tidak pernah memenuhi syarat minimum untuk dilanjutkan pada tingkat pembuktian. Hal ini disampaikan oleh 3 (tiga) orang tokoh yang menjadinnarasumber dalam acara diskusi dan Konferensi Pers -- "Kontroversi Kasus Anand Krishna" di University Club (UC) UGM, Selasa (31/5).

     Mantan anggota DPR RI Utami Pridada menyampaikan, apa yang dituduhkan terhadap tokoh-tokoh perjuangan Pancasila hanya dijadikan entry point terhadap tuduhan yang lain untuk membangun opini negative di masyarakat. Hal ini juga dialami Anand Krishna, alibi yang disampaikan di persidangan tidak sesuai dengan fakta yang ada. Tara sebagai pelapor tidak menunjukkan sebagai korban pelecehan.

     Dari segi kejiwaan dia sama sekali tidak tertekan, bahkan sering tertawa. Dari fisik,visum menunjukkan dia masih perawan tingting, katanya. Utami menyayangkan sikap arogansi pengacara Tara yang sudah menyatakan bahwa kasus ini bergeser ke arah kasus penodaaan agama. -- Dan itu diceritakan pada media, ujarnya.

     Sementara itu aktivis GMRP Romo Sapto Rahardjo menuturkan kasus yang dialami oleh Anand Krishna juga dialami oleh tokoh-tokoh yang memperjuangkan kebenaran, kebangsaan, dan menegakkan Pancasila. Oleh pihak-pihak yang merasa terancam dengan apa yang sudah dilakukan oleh para tokoh tersebut. Pola nya tetap sama mereka merekayasa suatu kasus untuk menjatuhkan dan menghambat langkah perjuangan tokoh-tokoh tersebut. Dengan mudahnya tokoh-tokoh itu dibenturkan dengan masalah hukum yang sudah direkayasa.

     Pakar hukum pidana Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr, Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan -- Dari segi formil maupun materiil, tidak bisa terpenuhi. Sehingga jika kasus ini tetap diteruskan, saya yakin 99 persen adalah rekayasa. Edward, yang juga menjadi saksi ahli dalam kasus ini mengatakan, secara formil Anand dijerat pasal 290 ayat 1 KUHP dan pasal 294 ayat 2 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

     Penggunaan pasal itu, menurutnya sangat lemah. Pasal tersebut menyatakan ancaman hukuman 7 tahun penjara bagi orang yang melakukan tindakan cabul pada orang yang pingsan atau tidak berdaya. -- Tetapi Tara mengaku sadar saat pelecehan itu terjadi, meski jaksa memaksakan jika Tara dihipnotis. Yang patut dicermati juga adalah kata tidak berdaya, secara sederhana ada usaha tekanan fisik entah terikat, dikurung, atau disuntikkan obat tertentu. Dan ketika dituntut sebagai tindakan yang berlanjut, Tara dalam kondisi sadar. Kok jadi janggal. Masak kalau sadar, bisa terjadi berulang-ulang, -- jelasnya pada forum yang digagas Gerakan Moral Rekonsiliasi Pancasila (GMRP) itu.

     Dari segi materiil, menurut Edward lebih lemah. Pasalnya ketentuan ada dua orang saksi saja tidak terpenuhi. -- Lagi-lagi yang ngomong cuma Tara. Nanti temannya ngomong lagi tentang teman lain yang juga dilecehkan. Keterangan ini tidak saling terkait. Ya seperti gosip lah. Lucunya yang keterangan ya cuma katanya si A katanya si B itu dijadikan fakta hukum, -- terangnya.

     Edward menduga ada upaya sistematis untuk menyingkirkan Anand Krishna. -- Ingat ini adalah yang ketiga kalinya Anand dikriminalisasi. Pertama tahun 2000 soal penodaan agama yang kemudian tidak terbukti karena telah dikuatkan pernyataan dari tokoh-tokoh Islam, yang kedua tahun 2005 tentang penipuan uang sebesar 150 juta yang juga tidak ada bukti dan akhirnya dicabut kembali oleh pelapor, -- katanya.


 

Pewarta: Masnang
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2011