Jakarta (ANTARA News) - Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, Agus Purnomo menyatakan tuduhan beberapa LSM Lingkungan bahwa pemerintah lebih mengakomodir kepentingan pengusaha dalam Inpres 10/2011 tentang moratorium izin kehutanan adalah tidak benar.

"Di dalam negara demokrasi, orang boleh berpendapat apa saja. Bahwa dalam Inpres moratorium tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmen mengkonservasi puluhan juta hektare hutan primer dan seluruh lahan gambut," kata Agus Purnomo yang dihubungi di Jakarta, Senin.

Agus Purnomo yang lebih akrab dipanggil Pungki menyatakan hal tersebut membantah pernyataan Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global yang mengatakan bahwa pemerintah memiliki kecenderungan melindungi kepentingan pengusaha saja.

Koalisi LSM yang terdiri dari WALHI, HUMA, Greenpeace, Sawit Watch, JATAM, Debt Watch, BIC dan ICEL tersebut mengkritisi Inpres No.10/2011 tentang Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut yang dinilai lebih menguntungkan para pengusaha di bidang kehutanan.

Pungki mengatakan Inpres moratorium berisi penundaan izin pengelolaan untuk seluruh hutan alam primer dan seluruh lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan Area Penggunaan Lain (APL).

Dari data Kementerian Kehutanan pada 2010, luas hutan alam primer mencapai 64,2 juta hektare, lahan gambut mencapai 24,5 juta hektare, dan luas hutan sekunder mencapai 36,6 juta hektare yang juga tersebar di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi, dan Area Penggunaan Lain.

"Sebanyak 64 juta hutan primer dan seluruh lahan gambut yang dikonservasi itu sudah pasti bertentangan dengan kemauan banyak pihak. Jadi tuduhan LSM itu tidak beralasan," tegasnya.

Mengenai pernyataan Koalisi LSM mengenai peta indikatif kehutanan dari Inpres 10/2011 yang tidak akurat luas hutan primer dan lahan gambut, Staf Khusus Presiden menyatakan menyatakan berterima kasih terhadap saran dan masukan untuk penyempurnaan data peta indikatif tersebut.

"Tentang perbaikan data dan peta indikatif, saya terimakasih atas saran tersebut karena penyempurnaan data yang memang diperlukan," katanya.

Dia mengatakan sesuai Inpres 10/2011, akan ada perbaikan terhadap peta indikatif setiap enam bulan.

"Oleh karena itu, kita menunggu masukan yang lebih kongkrit untuk perbaikan peta indikatif. Bagian mana yang salah, maka kita akan ubah tanpa protes kalau memang data yang diajukan tersebut lebih benar dan lebih mutakhir," katanya.

Akan ada pertemuan dengan berbagai pihak untuk verifikasi data demi penyempurnaan peta indikatif.

"Kita adopsi tanpa ada keraguan, tidak ada rasa malu hati terhadap masukan dan saran dari siapapun, baik dari LSM, perusahaan ataupun masyarakat," katanya.

Pungki juga mengoreksi persepsi Koalisi LSM yang menyebutkan bahwa hutan yang telah dinyatakan dikonservasi berdasarkan peraturan tidak perlu masuk dalam Inpres Moratorium.

"Orang yang berpendapat seperti itu, dengan sengaja melupakan PP No.10/2010 yang ditandatangani pada Januari 2010 tentang Tata Cara Perubahan Fungsi Hutan," katanya.

Dalam PP No.10/2010 disebutkan bahwa hutan konservasi bisa diubah menjadi hutan produksi, yang menjadi dasar perubahan hutan konservasi menjadi hutan produksi atau peruntukan lainnya.

Pungki menambahkan PP tersebut dibuat karena banyaknya permaslaahan dalam penetapan kawasan konservasi di masa lalu.

Sebelumnya, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global menyatakan Inpres Moratorium Izin Hutan jauh dari niat baik untuk menyelamatkan hutan alam yang tersisa karena pemerintah Indonesia memiliki kecenderungan melindungi kepentingan pengusaha saja. ***4***
(N006/S019)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011