Jakarta (ANTARA News) - Lebih dari 600 pebisnis dunia hadir dalam Forum Ekonomi Dunia - Asia Timur (World Economic Forum on East Asia/WEF-EA) yang berlangsung hari Minggu (12/6) sampai dengan Senin (13/6) di Jakarta.

Suatu kesempatan bagi Indonesia yang menjadi tuan rumah pertemuan besar yang tidak hanya dihadiri dunia usaha, tapi juga kepala negara/pemerintah, pejabat pemerintah, dan akademisi itu, untuk mempromosikan diri.

Apalagi, pertemuan tersebut dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan ada satu sesi yang membahas mengenai momentum keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang tahun ini diproyeksi tumbuh 6,4 persen.

Diakui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, pekan lalu (8/6), ajang WEF akan mejadi momentum untuk menindaklanjuti komitmen investasi dari sejumlah perusahaan global.

"Ini kesempatan bagi kita menagih komitmen peningkatan investasi," ujarnya.

Menurut dia, sejumlah perusahaan multinasional yang sudah menanamkan investasi di Indonesia telah berkomitmen menambah investasi mereka, seperti Coca Cola yang menyatakan siap menambah investasi 500 juta dolar AS, perusahaan komputer NEC sebesar 5,2 miliar dolar AS, perusahaan barang konsumsi P&G sebesar 200 juta dolar AS, dan perusahaan pangan olahan Nestle sebesar 300 juta hingga 400 juta dolar AS.

"Komitmen investasi mereka akan direalisasikan dalam jangka waktu tiga sampai empat tahun ke depan," ujar Gita yang memiliki pengalaman sebagai pengelola perusahaan investasi.

Pemerintah Indonesia pun nampaknya berharap banyak aliran modal datang dari perusahaan-perusahaan kaya dari Timur Tengah, yang sempat menunda investasinya akibat Krisis Dubai. Apalagi sekitar 19 investor asal Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), hadir pada forum tersebut.

Gita berharap, kehadiran 19 investor asal Abu Dhabi itu, yang salah satunya adalah pimpinan Abudhabi National Bank, menjajaki investasi di negeri ini, mengingat Indonesia membutuhkan dana besar untuk membangun infrastruktur.

Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo di arena WEF, Minggu (12/6), mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar Rp1.400 triliun untuk membangun infrastruktur dalam lima tahun ke masa depan.

Tawarkan kemitraan

Pada hari pertama WEF, Agus Martowardojo mengatakan, pemerintah menawarkan investasi dalam bidang infrastruktur melalui skema kemitraan pemerintah dengan swasta (public private partnership/PPP).

Skema itu, menurut dia, ditawarkan mengingat kemampuan keuangan pemerintah yang masih sangat minim untuk mendorong pembangunan infrastruktur.

"Kemampuan fiskal pemerintah berada dalam keseimbangan yang kecil, sehingga harus menarik investasi swasta termasuk asing," ujar mantan Dirut Bank Mandiri itu.

Pemerintah, kata dia, hanya mampu menyediakan sekitar 20 sampai 30 persen dana untuk pembangunan infrastruktur dalam lima tahun ke depan.

Untuk itu, pemerintah menjanjikan menghapus dan mengatasi berbagai hambatan yang menghalangi masuknya investasi, serta memberikan insentif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Tekad itu tertuang dalam semangat mengimplementasikan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Infrastruktur merupakan tantangan terbesar bagi Indonesia untuk meningkatkan laju investasi baik domestik maupun asing. WEF yang menjadikan kesediaan infrastruktur sebagai indikator menilai Indonesia masih minim sarana dan prasarana jalan, pelabuhan, kereta api, pasokan energi, dan lain-lain.

Kondisi infrastruktur yang belum memadai itu lah yang salah satunya mengakibatkan indonesia bertengger diurutan ke-44 dalam peringkat investasi yang disusun forum ekonomi dunia itu. Kondisi itu lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, dimana Indonesia berada diurutan ke-54 dari 139 negara yang diperingkat.

Menteri Perdagangan (Mendag), Mari Elka Pangestu, yang sering bertandang ke berbagai negara untuk melakukan promosi bisnis dan perdagangan, bahkan berharap peringkat Indonesia dalam Indeks Daya saing Global (GCI) yang disusun WEF, naik terus mencapai angka di bawah 40.

"Mudah-mudahan dalam dua hingga tiga tahun ke depan bisa naik sampai di bawah 40 kalau perbaikan bisa cepat dilakukan," katanya di sela pertemuan WEF Forum Asia Timur di Jakarta, Minggu. Saat ini posisi Indonesia di atas beberapa negara berkembang, seperti Brazil, Afrika Selatan dan India, namun masih berada di bawah Singapura dan Malaysia.

Diakuinya, banyak perbaikan yang harus dilakukan Indonesia, di samping masalah infrastruktur. Hambatan daya saing yang harus diperbaiki Indonesia, kata dia, antara lain birokrasi yang tidak efisien, korupsi, dan kesehatan masyarakat.

Sedangkan, ia menilai, faktor yang memberikan peringkat daya saing yang tinggi antara lain pertumbuhan ekonomi yang cepat, manajemen fiskal yang sehat dan akses pendidikan dasar yang kian meningkat.

Pemerintah optimis aliran modal akan mulai mengalir dari lembaga pembiayaan dunia, setidaknya dari yang hadir pada WEF kali ini. Sejumlah petinggi lembaga pembiayaan dunia seperti Kepala Ekonomi Goldman Sachs Asia Pasific Singapura, Michael Buchanan, Group Chief Executive HSBC Holding UK, Stuart T Gulliver, dan Chief Executive Officer Abraaj Capital Asia Singapore Omar Lodhi, hadir pada forum itu.

Apalagi, menurut Gita Wirjawan, berdasarkan Survei GlobeScan dan BBC Extreme World Series, saat ini Indonesia menjadi negara tujuan terbaik bagi para pebisnis skala global dalam memulai usaha. Hasil survei itu menggembirakan, karena Indonesia mengalahkan Amerika Serikat, Kanada, India, dan Australia.

"Mudah-mudahan indikator lainnya, seperti `doing business` juga naik dari peringkat 121 menjadi `Top 100` lah," ujar Gita.

Ekonomi menguat

Dalam pidato pembukaan WEF-EA, Presiden Susilo Bambang Yudhyono menegaskan bahwa perekonomian Indonesia semakin kuat, meski diakuinya masih ada beberapa permasalahan yang menghambat kemajuan.

"Saya secara khusus menyatakan bahwa perekonomian Indonesia semakin menguat," ujarnya dihadapan lebih dari 600 orang yang hadir pada forum dunia tersebut.

Ia mengatakan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia kini mendekati satu triliun dolar AS, dan Indonesia ingin menjadi bagian dalam sepuluh negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pun mencapai 26 persen,

"Paling rendah dalam sejarah," ujar Yudhoyono.

Selain itu, Kepala Negara menyatakan, laju pertumbuhan ekspor dan investasi juga cukup tinggi. Kendati demikian, lanjut dia, tidak akan berhenti berusaha. Presiden optimistis dengan semangat tinggi dan perubahan pola pikir untuk melakukan perubahan, Indonesia akan menjadi lebih baik.

Rasa optimistis di kalangan pejabat pemerintah pada membaiknya daya saing Indonesia tersebut, bukan sekedar ingin membawa angin segar bagi kalangan investor, khususnya para pengusaha nasional.

Ekonom WEF, Thierry Geiger, dalam laporan tentang peningkatan daya saing sebelum WEF di Jakarta, mengakui daya saing perekonomian Indonesia meningkat pesat di antara negara-negara anggota G-20.

"Saat ini Indonesia sebagai salah satu dari 20 negara dengan pertumbuhan tertinggi, mempunyai pasar potensial yang kuat, disertai peningkatan kelas menengah," ujarnya.

Ia menilai, daya saing Indonesia membaik, karena pemerintah mulai memiliki standar manajemen fiskal, menerapkan aturan perpajakan, dan meningkatkan standar pendidikan, sehingga tingkat pertumbuhan menjadi lebih kompetitif.

Kondisi itu mendudukkan Indonesia di atas negara-negara berkembang lain, seperti Brazil, Afrika Selatan dan India serta mempunyai kemampuan untuk berkembang lebih baik, meskipun masih di bawah negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia. Namun, di atas Filipina dan Kamboja, serta sejajar dengan Thailand serta Vietnam, yang sama-sama berada di kawasan Asia Tenggara.

Kendati demikian, Thierry mengingatkan, Indonesia masih mempunyai banyak kelemahan yang harus diwaspadai, seperti masih adanya pungutan liar untuk pelayanan birokrasi, dan hambatan klasik dalam perdagangan seperti infrastruktur yang dapat mengganggu akselerasi pertumbuhan ekonomi di masa mendatang.

"Infrastruktur menjadi permasalahan utama. Pelabuhan, jalan dan rel kereta api dalam kondisi yang kurang baik. Suplai listrik kurang memadai dan penggunaan teknologi informasi masih terbatas. Padahal Indonesia salah satu negara berpenduduk terbanyak," ujarnya.

Secara keseluruhan, Thierry menilai, Indonesia sangat berkembang dalam 10 tahun terakhir dan membuktikan mampu bertahan dari ancaman krisis global.

"Indonesia tidak boleh berhenti sampai di sini, masih banyak tantangan dan hambatan yang harus dihadapi. Apabila semua dapat dilewati, maka pertumbuhan tinggi dan kuat dapat tercapai," katanya.
(T.R016*A039*R017*S034*M035*F008*/A011)

Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011