Pangkalpinang (ANTARA News) - Pengamat Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pertiba Bangka Belitung, Junaidi Abdillah, mengemukakan bahwa wacana Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak mendidik masyarakat berdemokrasi.

"Sebaiknya Kemendagri tidak mengubah sistem pemilihan langsung dengan mengembalikan mekanisme pemilihan gaya lama melalui DPRD, karena akan mengecewakan masyarakat dan mengkhianati partisipasi politik masyarakat," ujarnya di Pangkalpinang, Minggu.

Pendapat itu dikemukakan terkait statemen Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, beberapa waktu lalu yang menyebutkan pihak Kemendagri sedang merampungkan kajian tentang kemungkinan dikembalikannya sistem pemilihan kepala daerah ke sistem lama melalui DPRD.

Ia mengemukakan, pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, seperti berlaku sekarang, memang ada kelemahan menyangkut biaya yang dikeluarkan pemerintah sangat besar dan menimbulkan pembengkakan APBN, situasi politik dan keamanan memanas, serta tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan gesekan antarmasyarakat.

Selanjutnya, ia menilai, dana yang dikeluarkan para calon pemimpin tersebut sangat besar dan tidak menutup kemungkinan setelah dia terpilih akan berusaha untuk mengembalikan modal yang sudah ia keluarkan pada saat kampanye.

"Dengan pengeluaran dana yang banyak pada saat kampanye, calon terpilih kemungkinan besar akan melakukan segala macam cara atau korupsi untuk mengembalikan modalnya, atau paling tidak proyek-proyek pemerintah akan diberikan pada perusahaan keluarga dan kelompok atau partai pendukungnya," katanya.

Sementara itu, menurut dia, ada pandangan bahwa untuk pemilihan melalui perwakilan, pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar, suasana politik dan keamanan lebih terkendali, anggaran yang dikeluarkan calon sedikit dan visi misi para calon lebih jelas dalam penyampaiannya.

Beberapa kelemahan dalam sistem ini, kata dia, tetap tidak menutup kemungkinan tetap akan terjadi praktik politik uang (money politic) dengan sasaran para anggota dewan dengan jumlah nominal yang besar pula.

"Untuk saat ini, saya lebih memilih proses pemilihan langsung karena pemilihan langsung akan mendidik masyarakat dalam proses demokrasi yang benar, seandainya ada money politic pun masyarakat yang menikmati langsung pemberian para calon terpilih," katanya.

Terlepas dari itu semua, katanya, pemilihan langsung tetap merupakan pilihan yang tepat untuk dilanjutkan hingga masyarakat mencapai tingkat kematangan dalam berdemokrasi, apalagi pemilihan langsung oleh rakyat merupakan esensi dari kedaulatan rakyat.

"Jika para pemimpin dan masyarakat sudah dewasa dalam berdemokrasi, maka tentunya dampak negatif dari pemilihan langsung tereliminasi dan tentunya perlu konsistensi, komitmen dan kejujuran aparat penyelenggara dalam melaksanakan demokrasi langsung tersebut," ujarnya.

Menurut dia, sistem pemilihan melalui DPRD sudah pernah dilaksanakan selama masa orde baru yang terbukti juga tidak efektif, karena tidak mencerminkan aspirasi masyarakat kecuali aspirasi para anggota DPRD yang sarat dengan praktik politik uang.
(T.KR-KMN/I013)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011