Jakarta (ANTARA News) - Kuasa hukum Edward Soeryadjaya dan PT Siwani Makmur Tbk, Avianto Perdhana, menuding Kejaksaan Agung berupaya mengaburkan proses penyidikan perkara tindak pidana penggelapan dalam pembangunan proyek Depo Minyak Pertamina di Balaraja, Tangerang, Banten.

"Lebih dari setahun kasus ini tidak ada kejelasan untuk dilimpahkan ke pengadilan hanya karena alasan belum lengkap," ujarnya kepada pers di Jakarta, Sabtu.

Ia menduga adanya oknum-oknum di Kejagung yang telah sengaja menghambat penyidikan kasus tersebut sehingga berkas perkara tak kunjung dinyatakan lengkap (P21) sehingga muncul kekhawatiran penyidikan akan terhenti sebelum ke pengadilan.

Avianto Perdhana menjelaskan, sebelumnya pihaknya telah melaporkan manajemen PT Pandanwangi Sekartaji (PWS) dan beberapa pihak ke Mabes Polri pada 12 Februari 2010, yakni MS Direktur PWS, SG (Komisaris PWS) dan SSU (Komisaris PT Capitalinc Finance). Mereka diduga melakukan tindak pidana penipuan dan penggelapan dalam pembangunan proyek Depo Minyak Pertamina di Balaraja, Tangerang terkait kucuran dana kompensasi dari Pertamina senilai 6,4 juta dolar AS.

Namun, Avianto menambahkan, lambatnya penanganan perkara itu ternyata akibat adanya oknum penyidik di Kejagung yang telah berupaya menghambat agar berkas penyidikan kasus proyek pembangunan Depo Minyak Pertamina ini tidak dilanjutkan ke pengadilan.

"Hal ini dibuktikan dalam surat hasil penelitian dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Kejagung Nomor: B-1717.a/E.2/Epp/06/2011 tertanggal 20 Juni 2011 yang ditujukan kepada Direktur Tindak Pidana Umum Mabes Polri," ujarnya.

Dari surat tersebut, Avianto menambahkan, terlihat bahwa ternyata surat penelitian yang dinyatakan belum lengkap (P18) oleh kejaksaan tersebut sudah dibuat terlebih dahulu oleh pihak Jampidum sebelum adanya pertemuan bersama Jaksa Agung yang menghasilkan keputusan bahwa berkas dinyatakan belum lengkap (P18) pada 22 Juni 2011.

"Disinyalir tindakan ini sebagai upaya yang menyesatkan untuk pengaburan proses penyidikan perkaranya. Karena berkasnya sudah lebih dulu dinyatakan belum lengkap, sebelum ada putusan dari Jaksa Agung saat ekspose kasusnya," ujarnya.

Lebih lanjut Avianto mengatakan bahwa dari fakta-fakta yang diperolehnya itu, pihaknya khawatir akan adanya kemungkinan upaya mengeluarkan surat penghentikan penyidikan perkara (SP3) melalui modus pengembalian berkas perkara secara terus menerus ke penyidik hanya dengan alasan belum lengkap.

Kasus bermula saat dari rencana pembangunan proyek Depo Minyak Pertamina di Balaraja, Tangerang oleh PT PWS pada 1996. Namun, untuk proyek itu PWS menuntut ganti rugi kepada Pertamina 12,8 juta dolar AS untuk disain pembangunan dan penyerahan sertifikat tanah seluas 200 ribu meter pesegi di lokasi tersebut. Kesepakatan tersebut langsung disetujui Pertamina dengan membayar 50 persen sebagai work in progress sebesar 6,4 juta dolar AS pada 1 Mei 2009 kepada PWS.

Namun ketika Pertamina akan melunasi pembayaran tahap II, yakni berupa penyerahan serifikat tanah melalui pengumuman koran diketahui bahwa sertikat Hak Guna Bangunan (HGB) No. 0032/Sumur Bandung, Kab Tangerang yang diserahkan PWS kepada Pertamina palsu. Karena sertifikat yang asli yakni sertifikat HGB No. 0031/Sumur Bandung sebelumnya dilaporkan hilang oleh PWS. Padahal sertifikat HGB No. 0031/Sumur Bandung dipegang oleh pemiliknya, yakni Edward S. Soeryadjaya.

Atas perbuatan itu, Edward Soeryadjaya melaporkan sejumlah manajemen PWS ke Mabes Polri pada 12 Februari 2010 dengan tuduhan perbuatan penipuan dan penggelapan.(*)
(T.D011/A041)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011