Jakarta (ANTARA News) - Komisi III DPR akan melakukan pertemuan Jaksa Agung terkait berlarut-larutnya proses hukum kasus dugaan korupsi Depo Pertamina Balaraja dan kasus hukum lainnya.

"Komisi III akan bertemu Jaksa Agung pada pekan depan untuk membahas terkait kasus-kasus hukum yang belum diselesaikan, salah satunya kasus hukum Depo Pertamina Balaraja," kata Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Desmon J Mahesa, di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, dirinya tidak tahu secara pasti mengapa Kejaksaan Agung dalam menyelesaikan kasus dugaan korupsi Depo Pertamina Balaraja terkesan lamban.

Tak hanya itu, kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang melibatkan mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra juga belum diselesaikan.

"Kalau kejaksaan telah menetapkan seseorang menjadi tersangka, maka kejaksaan harus mencari bukti-bukti yang kuat dan segera melimpahkannya ke pengadilan. Jangan sampai, akibat status tersangka membuat orang terkatung-katung," katanya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Hanura, Sudding mengatakan, pihaknya akan terus mendorong Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi Depo Balaraja yang telah lama belum dituntaskan.

"Kami akan terus memantau perkembangan kasus ini agar segera dilimpahkan ke pengadilan," katanya.

Ia tidak mengetahui secara pasti apakah ada "permainan" di internal kejaksaan terkait kasus ini dengan lambannya kinerja kejaksaan, namun dirinya meminta kejaksaan untuk menyelesaikan kasus itu.

"Kita serahkan sepenuhnya kepada Jaksa Agung untuk menyelesaikan kasus itu dan segera melimpahkan ke pengadilan," ucapnya.

Kasus ini mulai berawal pada 1996 lalu saat Pertamina menggandeng PT Pandanwangi Sekartaji (PWS) sebagai rekanan dalam proyek pembangunan Depo Minyak Balaraja di Tangerang. Proyek tersebut ditaksir bernilai 20 juta dollar Amerika.

Proyek tersebut berakhir dengan kegagalan lantaran diterpa krisis moneter. PT PWS diketahui telah membeli tanah seluas 20 hektare untuk proyek tersebut dengan meminjam uang kepada perusahaan Singapura, Van Der Horst Ltd (VDHL).

Dalam mendapat pinjaman tersebut, PT PWS menjaminkan sertifikat HGB No 031 atas tanah proyek itu.

Perusahaan Singapura, Van Der Horst Ltd (VDHL) pun belakangan mengalami kebangkrutan karena krisis keuangan dan kemudian dilelang.

Lelang tersebut dimenangkan oleh pengusaha Edward Soeryadjaya, sehingga sertifikat HGB No 031 yang tadi dijaminkan oleh PT PWS berada di tangannya.

PT PWS yang sebelumnya dimiliki Oleh Johnie Hermanto dan Tri Harwanto kemudian disebut-sebut dibeli oleh kelompok perusahaan Sandiaga Uno, yakni PT VDH Teguh Sakti senilai 1,5 juta dollar Amerika.

Saat dimiliki oleh kelompok perusahaan Sandiaga Uno tersebut, PT PWS lantas meminta ganti rugi kepada Pertamina atas pembatalan sepihak proyek tersebut.

Pertamina kemudian membayar ganti rugi sebesar 6,4 juta dollar Amerika kepada PT PWS, dari total kerugian sebesar 12,8 juta dollar AS.

Namun, saat PT PWS hendak mencairkan ganti rugi tahap kedua, terungkap bahwa sertifikat asli tanah proyek tersebut tidak lagi berada di tangan PT PWS tetapi hanya sertifikat HBG No 032 ada dan bukan sertifikat HGB No 031 yang asli.

PT PWS menyebut sertifikat HGB No 031 tersebut hilang. Padahal diketahui bahwa sertifikat HGB No 031 ada di tangan pengusaha Edward Soeryadjaya.

Edward pun lantas mengajukan protes kepada Pertamina dan Pertamina memutuskan menunda pembayaran ganti rugi tahap kedua tersebut.

Dalam kasus ini, uang negara sebesar US 6,4 dolar juta telah mengalir ke PT PWS sebagai bentuk uang ganti rugi, padahal diketahui ada dugaan pemalsuan atau penipuan sertifikat tanah guna mendapatkan pembayaran ganti rugi tersebut. Sehingga hal ini dinilai merugikan Pertamina.

(ANTARA/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011