Akibat tidak diakomodirnya calon perseorangan dalam rancangan qanun pilkada yang baru menyebabkan Gubernur Aceh tidak mengesahkannya, sehingga rancangan yang telah disetujui DPRA tidak bisa digunakan pada Pilkada 2011.
Banda Aceh (ANTARA News) - Sejumlah lembaga sipil yang tergabung dalam Jaringan Damai Aceh mendesak penyelenggara pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota beserta wakil yang dijadwalkan 14 November 2011 ditunda.

"Kami meminta Pilkada ditunda karena pesta demokrasi ini telah melahirkan konflik hukum dan politik dan dikhawatirkan berpotensi kekerasan," kata juru bicara Jaringan Damai Aceh Agusta Mukhtar, di Banda Aceh, Kamis.

Jaringan Damai Aceh beranggotakan sejumlah lembaga sipil, di antaranya Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF), Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, The Aceh Institute.

Pemilihan gubernur dan wakil gubernur Aceh digelar 14 November 2011. Pemilihan tersebut digelar serentak dengan pemilihan 14 bupati dan tiga wali kota dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.

Menurut dia, DPRA telah menyatakan tahapan pilkada tidak sesuai prosedur dan tidak mempunyai landasan hukum yang sah. Apalagi penyelenggara Pilkada tidak dilibatkan dalam penetapan tahapan.

Sementara, kata dia, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Aceh sebagai penyelenggara menyatakan tahapan Pilkada ditetapkan berdasarkan perundangan dan qanun atau peraturan daerah.

Adapun perundangan yang dipedomani KIP Provinsi Aceh, yakni UU No 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah.

Kemudian, UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum serta Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tentang pemilihan gubernur, bupati, wali kota, beserta wakil di Provinsi Aceh.

Selain itu, kata dia, DPRA juga tidak mengakomodir keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 256 UU Nomor 11 Tahun 2006.

Pasal 256 sebelum dibatalkan Mahkamah Konstitusi mengamanahkan calon kepala daerah di Provinsi Aceh yang diusung dari jalur perseorangan atau independen hanya berlaku sekali, yakni pada pilkada 11 Desember 2006.

"Akibat tidak diakomodirnya calon perseorangan dalam rancangan qanun pilkada yang baru menyebabkan Gubernur Aceh tidak mengesahkannya, sehingga rancangan yang telah disetujui DPRA tidak bisa digunakan pada Pilkada 2011," ujarnya.

Ia mengatakan, berbagai perbedaan mengenai landasan hukum Pilkada tersebut juga berimbas tidak terbentuknya lembaga panitia pengawas. Padahal, UU Nomor 11 Tahun 2006 menyatakan bahwa DPRA merupakan pihak yang mengusulkan anggota pengawas Pilkada itu.

"Belum terbentuknya lembaga ini menyebabkan proses Pilkada di Provinsi Aceh tanpa ada pengawasan dan dikhawatirkan akan terjadi berbagai bentuk pelanggaran dan kekerasan," papar dia.

Oleh karena itu, lanjut dia, Jaringan Damai Aceh mendesak legislatif dan eksekutif menyelesaikan perselisihan tersebut secara bijak dengan mengedepankan musyawarah dalam mencapai mufakat serta melibatkan seluruh komponen masyarakat Aceh.

Kemudian, lanjut dia, pihaknya mengingatkan legislatif dan eksekutif tidak mengeluarkan pernyataan provokatif yang dapat menyebabkan situasi menjelang Pilkada menjadi memanas, serta dapat menimbulkan potensi konflik horizontal.

"Kami juga legislatif dan eksekutif menunda pilkada sampai kisruh tentang regulasi pemilihan gubernur, bupati, wali kota beserta wakilnya selesai dengan damai," demikian Agusta Mukhtar.

(KR.HSA)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011