Timika (ANTARA News) - DPRD Mimika, Papua akan memfasilitasi penyelesaian kasus mogok ribuan karyawan PT Freeport Indonesia.

Wakil Ketua DPRD Mimika, Karel Gwijangge kepada ANTARA di Timika, Jumat mengatakan pihaknya sudah mengirim surat undangan ke manajemen PT Freeport, Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK-SPSI) PT Freeport, Pemkab Mimika dan pihak terkait lainnya untuk hadir dalam pertemuan yang akan berlangsung di Kantor DPRD Mimika pagi ini mulai pukul 10.00 WIT.

"DPRD Mimika memandang bahwa penyelesaian masalah mogok ribuan karyawan PT Freeport selama lima hari sejak Senin (4/7) sampai saat ini tidak ada perkembangan sehingga kita berupaya untuk mempertemukan pihak-pihak terkait guna mencari solusi," kata Karel.

Menurut Karel, pertemuan yang berlangsung di DPRD Mimika nanti juga akan dihadiri oleh utusan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI utusan dari Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua (DPRP).

Ia berharap, pihak-pihak terkait baik dari manajemen PT Freeport maupun PUK SPSI PT Freeport bijaksana dalam menyelesaikan kasus mogok kerja ribuan karyawan dengan melupakan ego masing-masing.

"Kalau mau masalah ini segera diselesaikan, yah harus bijaksana. Tidak boleh bertahan pada prinsip masing-masing. Semua pihak harus memiliki sikap saling mengalah. Jangan kaku pada aturan tetapi mau mengalah untuk kepentingan yang lebih besar," tutur wakil rakyat dari Partai Buruh itu.

Ia merasa optimistis, kasus mogok ribuan karyawan PT Freeport bisa segera teratasi jika manajemen PT Freeport dapat mencabut kembali keputusan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) enam orang pengurus PUK-SPSI yang dipimpin Sudiro.

Jika manajemen PT Freeport dapat mengambil keputusan seperti itu, ribuan karyawan yang saat ini melakukan aksi mogok kerja damai di depan pintu gerbang Check Point 1 Kuala Kencana bisa kembali ke Tembagapura untuk bekerja kembali.

"Saya kira PT Freeport tidak rugi kalau enam orang pengurus PUK-SPSI yang sudah di-PHK itu dipekerjakan kembali. Kalau manajemen PT Freeport bertahan pada keputusannya lalu ribuan karyawan terus melakukan aksi mogok maka dampak yang ditimbulkan jauh lebih besar," ujarnya.

Karel mengakui, selama lima hari operasional tambang PT Freeport tidak berjalan normal maka kerugian yang ditimbulkan akan sangat besar.

"Kalau aksi ini terus berlangsung, perusahaan tentu akan rugi miliaran bahkan triliunan rupiah, karyawan juga rugi, pemerintah juga rugi. Semua pihak tentu sangat menyayangkan kejadian ini, apalagi PT Freeport merupakan aset negara yang merupakan pembayar pajak terbesar. Daerah juga tentu sangat dirugikan karena selama ini Pemprov Papua dan Pemkab Mimika sangat mengandalkan royalti dari PT Freeport," jelas Karel.

Ia menambahkan, jika melihat surat pemberitahuan mogok kerja karyawan PT Freeport ke Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Mimika yang ditembuskan ke DPRD Mimika, maka apa yang dituntut oleh karyawan sangat sederhana yaitu hanya meminta melakukan perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan PUK-SPSI yang sah dan mendapat legitimasi dari anggota serta meminta manajemen Freeport tidak memberikan intimidasi dan sanksi kepada pengurus PUK-SPSI.

"Kalau tuntutan mereka segera dijawab dan disikapi secara bijaksana dari awal, tentu kasus mogok kerja ribuan karyawan ini tidak perlu terjadi. Dengan adanya aksi mogok ribuan karyawan ini bisa diketahui bahwa karyawan Freeport mengakui keberadaan PUK-SPSI yang dipimpin Sudiro dan teman-temannya, bukan PUK-SPSI yang dibentuk oleh DPD SPSI Papua," ujar Karel.  (E015/K004

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011