meski dua-duanya tidak populer, salah satu alternatif ini harus segera diputuskan
Depok (ANTARA News) - Pemerintah saat ini dihadapkan pada pilihan sulit, ibarat makan buah simalakama, terkait perkiraan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang membengkak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara  2011.

Dua pilihan yang sama sulit adalah menaikkan harga BBM bersubsidi atau menerapkan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi agar pembengkakan subsidi BBM dapat diminimalisasikan atau dikurangi. Karena itu meski dua-duanya tidak populer, salah satu alternatif ini harus segera diputuskan.

Kalau tidak, menurut Direktur Eksekutif Inisiatif Efisiensi Energi, Saraswati W Hapsari, Indonesia seperti diramalkan Bank Dunia akan menghadapi kesulitan akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang semula diperkiraan 80 dolar menjadi rata-rata 113 dolar AS per barrel pada Januari hingga Mei 2011.

Kondisi tersebut dinilai Bank Dunia akan mengakibatkan anggaran subsidi BBM melonjak dari target APBN 2011 sebesar Rp95 triliun menjadi sekitar Rp150 triliun. Namun, Bank Dunia juga memberi harapan bahwa ancaman bisa tak menjadi kenyataan - jika ada perubahan kebijakan konsumsi BBM bersubsidi.

Subsidi energi, khususnya BBM menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam sebuah diskusi di Jakarta, perlu direformasi dengan melakukan kenaikan harga atau pembatasan pemakaian BBM bersubsidi.

"Itu harus diputuskan," kata Fabby.

Pilihan kenaikan harga BBM dia nilai lebih realistis dibanding pembatasan pemakaian BBM bersubsidi. Memang menaikkan harga BBM bersubsidi akan menimbulkan dampak berantai pada kehidupan masyarakat terutama kelompok menengah.

"Tetapi jumlah mereka hanya sekitar 40 juta atau 20 persen dari total penduduk," katanya.

Oleh karena itu jika alternatif menaikkan harga BBM bersubsidi yang dipilih, ujarnya, maka pemerintah perlu mempertimbangkan daya beli masyarakat dan kemampuan anggaran dalam menetapkan besaran kenaikan tersebut.

Bila pengaturan pemakaian BBM bersubsidi yang dipilih, dia berpendapat akan menimbulkan dampak sosial dan ekonomi, memicu kelangkaan sehingga menguntungkan spekulan sebab pengawasan sulit dilakukan. Karena itu, lebih baik pemerintah menaikkan harga sesuai daya beli masyarakat dan kemampuan anggaran pemerintah.

Dia juga menyebutkan, jika tidak ada pembatasan penyaluran BBM bersubsidi, total subsidi BBM diperkirakan akan meningkat hingga melampaui Rp130 triliun atau sekitar 30 persen dari total subsidi energi.

"Subsidi menurut dia, tetap diperlukan, hanya perlu ditata agar tepat sasaran. Saat ini lima kelompok pendapatan tertinggi di Indonesia menikmati 45 persen dari total subsidi. Kalau subsidi BBM tahun ini Rp58 triliun, mereka menikmati hampir separuhnya," ujarnya.

Sementara itu pemerintah menurut Direktur Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral (Dirjen ESDM) Kementerian ESDM, Evita Herawati Legowo, berencana memberlakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi.

Meskipun realisasi rencana yang diwacanakan beberapa tahun lalu itu terus mundur,Dirjen ESDM agaknya akan tetap berupaya membatasi konsumsi BBM bersubsidi.

"Rencana itu paling cepat direalisasikan setelah Lebaran 2011," katanya.

Namun demikian Evita sempat mengatakan, keputusan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tergantung hasil keputusan sidang kabinet. Awalnya, rencana itu direalisasikan April lalu, namun kemudian ditolak DPR.


Pembatasan konsumsi direalisasikan

Meningkatnya beban anggaran pendapatan dan belanja negara yang harus dialokasikan untuk subsidi BBM, membuat Kementerian Keuangan mendesak agar kebijakan pembatasann konsumsi BBM bersubsidi itu diberlakukan tahun ini untuk menekan angka defisit anggaran.

Pemerintah memperkirakan defisit APBN tahun ini akan naik Rp26,4 triliun menjadi Rp151,1 triliun atau 2,1 persen. Nilai lebih tinggi ketimbang perkiraan defisit APBN 2011 yang sebesar 1,8 persen.

Lagi pula, meski subsidi BBM membengkak, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan, hingga saat ini pemerintah belum berniat untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, walau tidak tertutup kemungkinan langkah itu bisa saja diambil.

Sebagai langkah antisipasi, pemerintah berjanji akan berkoordinasi di semua tingkat untuk menjaga agar BBM bersubsidi bisa terkendali. Konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan naik dari 38,6 juta kiloliter menjadi sekitar 40,49 juta kiloliter.

Dia berharap, pengendalian konsumsi BBM bersubsidi ini akan bisa mengontrol anggaran BBM. Pemerintah telah menyiapkan inisiatif pengendalian BBM subsidi sejak Oktober 2010 dan akan terus dipertajam agar dapat diimplementasikan untuk mengendalikan pos subsidi.

Opsi menaikkan harga BBM bersubsidi juga dinilai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) saat ini bukan lagi waktu yang tepat, karena seharusnya hal itu dilakukan bulan Maret, April, Mei 2011 lalu.

Menurut Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Kementerian Keuangan BKF, Andie Megantara dalam lokakarya Reformasi Subsidi Energi Di Indonesia, bulan-bulan itu adalah waktu yang tepat untuk menaikkan harga BBM karena merupakan masa-masa deflasi. Sehingga ketika harga BBM bersubsidi naik, tidak akan menimbulkan inflasi.

"Kalau sekarang dinaikkan sudah telat, justru sulit akan terjadi inflasi akan naik, kemiskinan naik, industri juga kena, dan berdampak pad pertumbuhan ekonomi.Rakyat jadi terbebani, karena liburan sekolah akan segera selesai, kemudian masa panen sudah habis, dan akan masuk bulan puasa serta Natal di akhir tahun,? katanya.

Satu-satunya cara untuk menahan laju konsumsi BBM bersubsidi menurut dia adalah mengurangi volumenya atau menahan kuotanya.

Pemerintah, pengamat, pakar agaknya lebih memilih untuk melakukan pembatasan pemakaian BBM bersubsidi guna mengatasi membengkaknya subsidi BBM dalam APBN 2011. Jika itu opsi terbaik dari yang terburuk dan tidak terlalu memberatkan masyarakat, maka apa lagi yang bisa kita pilih.

Hanya saja, pelaksanaan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi - yang pasti tak luput dari kelemahan - harus dilakukan dengan benar dan pengawasannya diperketat agar tidak timbul masalah baru yang justru lebih membebani masyarakat dan sasarannya tercapai seperti yang diharapkan.
(ANT)

Oleh Illa Kartila
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011