Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik Universitas Indonesia (UI), Boni Hargens, mengemukakan bahwa tradisi berkoalisi partai politik (parpol) di Indonesia karena ingin mendapat jatah "kursi" menteri atau ingin menyiapkan diri menghadapi pemilihan umum (pemilu) berikutnya melalui "cara aman" bersama partai pemenang.

"Itu yang selalu dilakukan Golkar, dan itu yang dengan 'genit'-nya dilakukan oleh PKS sekarang," kata Boni dari Berlin, Jerman, Minggu.

Menurut Boni, sebenarnya konfederasi partai adalah ide yang bagus. Di Chile konfederasi berjalan baik. "Kita perhatikan komposisi parlemen 1997, dan nama partai konfederasi yang ada di parlemen dengan partai-partai anggotanya," katanya.

Dengan model konfederasi prapemilu, pemilih bisa mempertimbangkan untuk memilih atau tidak memilih sebuah partai ketika ada di bilik suara. Mereka melihat daftar partai anggota konfederasi sehingga tidak merasa dibohongi partai.

Dia mengatakan, koalisi di Indonesia selama ini terjadi setelah pemilu dan rakyat dibohongi secara acuh tak acuh karena partai yang bertentangan di pemilu bisa berkoalisi setelah pemilu. "Golongan Karya (Golkar) melawan Demokrat di pemilu, setelah pemilu bisa bersatu. Begitu juga yang lain," ujarnya.

"Ini aneh. Maka, konfederasi yang ideal harus terjadi sebelum pemilu dan atas dasar kesesuaian ideologi dan visi misi politik. Kalau PKS yang berhaluan agama, misalnya, tidak mungkin bisa ada dalam satu koalisi dengan Golkar yang agak sekuler," kata Boni.

Itu normalnya, kata dia, tapi di Indonesia itu terjadi. Tanpa ada kesesuaian ideologi dan program kerja, ia menilai, mau modelnya seperti apapun, tidak mungkin stabilitas politik tercapai.

Terkait suara yang hilang dalam penentuan jumlah kursi di parlemen, dia mempertanyakan, adilkah kalau suara rakyat yang masuk ke partai yang tidak lolos ambang batas masuk parlemen (parlementary treshold/PT) atau ambang batas pemilih (electoral treshold/ET) lalu hilang, diterima sebagai fakta demokrasi yang normal.

"Secara substantif, ini adalah kelemahan dasar demokrasi. Bahwa demokrasi tidak mampu menjamin prinsip keadilan yang maksimal dalam kondisi politik yang majemuk," katanya.

Solusi paling efektif ke depan, menurut dia, adalah menyederhanakan jumlah partai berbasis ideologi dan program kerja, supaya rakyat dalam pemilu hanya terbagi di antara partai yang terbatas lalu bisa dipastikan suara mereka berharga untuk meraih kursi di lembaga perwakilan.

"Selama partai begini banyak seperti cendawan di musim hujan, sulit prinsip keadilan elektoral itu tercapai. Kita tidak bisa tidak memakai PT atau ET dan kita tidak bisa menolong suara yang masuk ke partai yang kalah tapi kita harus memikirkan bagaimana membangun stabilitas politik dan keterwakilan yang maksimal melalui pemiluNL katanya.

Untuk itu, kata dia, perlu membahas penyederhanaan partai dan sistem pemilu proporsional yang benar-benar memberikan kebebasan kepada pemilih tanpa dikebiri oleh oligarki partai politik dalam menentukan calon wakil di lembaga perwakilan.

Menurut dia, ide Golkar soal peleburan itu bagus, tapi mengandaikan hal itu sebagai itu kesadaran yang bukan pengerahan. Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan tentu jauh lebih matang dari semua partai dalam soal seperti ini karena usia mereka yang cukup tua.

Tapi, ia menilai, ide peleburan atau juga stembuss accord tidak demokratis kalau tidak karena kesadaran natural dan berdasarkan kesesuaian ideologis dan program kerja.

"Saya berbicara dengan ahli Asia Tenggara di sini, Profesor Wesel Ingrid dari Universitas Humboldt, yang mengatakan bahwa multipartai di Indonesia menjadi masalah karena tidak selaras dengan kualitas kinerja mereka dalam berdemokrasi," katanya.

Hal itu, menurut dia, mungkin masalah yang lain, tapi profesor Wesel benar bahwa stembuss accord, konfederasi atau model koalisi macam apapun tidak akan menjamin realisme politik yang lebih baik kalau tidak dimulai dari penjernihan ideologi dan tujuan serta peningkatan kinerja partai politik.
(T.S023/S019)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011