Kondisi perubahan paradigma tanpa disadari menurunkan produktivitas sumber daya alam pertanian yang ditandai dengan berkurangnya hasil pada lahan sawah serta kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat mendukung proses alami di dalam tanah.
Denpasar (ANTARA News) - Pembangunan sektor pertanian mengalami perubahan paradigma dari subsistem untuk memenuhi kecukupan hidup menjadi sebuah bisnis yang menganggap pertanian merupakan "pabrik" yang dapat dikendalikan secara pasti, tanpa lagi tergantung pada iklim.

"Perubahan paradigma pertanian itu terjadi pada abad ke-19 yang ditandai dengan berbagai penemuan ilmiah seperti bibit unggul yang sangat tinggi daya serap unsur haranya," kata Dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana Doktor Ni Luh Kartini, di Denpasar, Selasa.

Ia mengatakan kondisi itu juga menyebabkan cepat tersedianya pupuk kimia, pestisida kimia yang sistematik sehingga menyebabkan sistem pertanian tradisional dengan bibit lokal, pupuk kandang, sampah abu bakar dan kegiatan lain yang dinilai tidak menguntungkan ditinggalkan petani.

Petani beralih ke sistem pertanian modern (revolusi hijau) dengan sasaran terlebih dulu pada tanaman padi yang dikenal dengan program "Sentra padi" (1975), BIMAS (1965) dan Supra Insus (1984), bahkan dalam beberapa tahun berikutnya menjangkau tanaman hortikultura dan tanaman perkebunan.

Luh Kartini menambahkan, kondisi tersebut tanpa disadari menurunkan produktivitas sumber daya alam pertanian yang ditandai dengan berkurangnya hasil pada lahan sawah serta kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat mendukung proses alami di dalam tanah.

Degradasi sumber daya alam pertanian secara terus menerus terjadi tidak mampu dihentikan seperti bahan kadar organik tanah menurun, kadar air tanah dan pH tanah berkurang.

Kondisi tersebut juga menyebabkan populasi cacing dalam tanah rendah sehingga mengakibatkan kehilangan keanekaragaman hayati.

Dengan demikian, menurut dia, revolusi hijau telah membawa petani meninggalkan pertanian tradisional, sehingga mereka tidak lagi memanfaatkan sumber daya alam lokal yang diwarisi secara turun temurun.

"Akibatnya, mereka sangat tergantung dari produk luar yang mengandung zat-zat kimia yang sangat mengganggu kelestarian lingkungan," katanya.

Selain itu, menurut dia, petani tidak lagi mencintai dan melindungi sumber daya alam pertanian yang dimiliki, karena merasa semuanya tidak menguntungkan lagi, dan sudah digantikan dengan sumber daya yang lain. "Padahal semua itu sangat merugikan dan menimbulkan pencemaran," kata Luh Kartini.

(I006)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011