Jakarta (ANTARA News) - Kuasa hukum Siti Hardijanti Rukmana (Mbak tutut), Harry Ponto, memberi penjelasan mengenai alasannya melaporkan Harian Seputar Indonesia (Sindo) dan Okezone.com ke Dewan Pers.

Menurut Harry Ponto, kedua media itu mendaur ulang pemberitaan yang sebenarnya sudah diakui oleh media tersebut sebagai rumor belaka, namun diberitakan terus-menerus sehingga dirinya merasa difitnah.

"Mereka sendiri kan sudah bilang itu rumor, tapi rumor ini ternyata didaur ulang sampai 13 kali dengan narasumber yang berbeda-beda," kata Harry Ponto, di Jakarta, Senin.

Harry Ponto menyatakan, pemberitaan mengenai rumor tidak mengacu pada fakta yang sesungguhnya dan pihaknya membantah telah bertemu dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) untuk memenangkan Siti Hardiyanti Rukmana dalam sengketa kepemilikan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) melawan PT Berkah Karya Bersama (BKB).

"Rumor kan bisa diciptakan. Saya sendiri bisa menciptakan rumor, terus rumor itu difollow up minta pendapat pengamat, pendapat anggota DPR dan lain-lain," kata Harry Ponto.

Dia melanjutkan, setidaknya ada tujuh narasumber yang hasil wawancaranya dimuat secara terus-menerus dalam bentuk berita oleh Harian Sindo dan Okezone.com. Harry meyakini, para narasumber itu hanya satu kali diwawancara, namun dimuat terus-menerus dalam beberapa kali edisi.

"Ahmad Yani satu kali diwawancara tujuh kali dimuat. Eva sundari sekali diwawancara 4 kali dimuat. Orang KY bagian pengaduan, Suparman itu, 5 kali diulang. Sekali wawancara saja. Sekarang muncul, lusa muncul. Jadi daur ulang berita-berita mereka itu," katanya.

Seharusnya, kata Harry, model pemberitaan tersebut berbentuk penelusuran yang mengarah pada fakta dan bukan pendapat sepihak.

Harry Ponto bersama kuasa hukumnya Dwi Ria Latifa mendatangi Dewan Pers untuk menjalani pemeriksaan, namun pihak terlapor, penanggung jawab redaksi Sindo dan Okezone.com tidak hadir.

Harry Ponto melaporkan dua media yang berada di bawah Grup Media Nusantara Citra (MNC) milik pengusaha Hary Tanoesoedibjo itu dinilai melanggar kode etik jurnalistik atas pemberitaan rumor mengenai pertemuan antara dirinya dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syahrial Sidik, sebelum putusan perkara Televisi Pendidikan Indonesia. (*)

(T. J008/S019)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011