Sleman (ANTARA News) - Pameran busana bertajuk "Code: Underbridge in Fashion" yang digelar tepat di bawah Jembatan KPH Ir Wreksodiningrat menjadi bukti bahwa bahan-bahan yang selama ini dianggap limbah bisa dikreasikan menjadi sebuah busana menarik.

"Kegiatan ini memiliki misi agar Yogyakarta bisa menjadi pusat fashion dengan memanfaatkan bahan-bahan yang selama ini dianggap sebagai limbah," kata Ketua Penyelenggara "Code: Underbrigde in Fashion" Indro Kimpling Suseno di Yogyakarta, Rabu malam.

Tema utama pergelaran busana tersebut adalah "recycle wearable" yaitu busana yang berasal dari material bekas namun dapat dikenakan sehari-hari.

Menurut dia, jika Solo dan Pekalongan sudah sangat terkenal dengan batik, serta Bandung dengan industri distro, maka Yogyakarta harus mampu muncul sebagai ikon baru dunia fashion yang memanfaatkan bahan-bahan limbah.

Ia mengatakan, berkembangnya industri fashion akan mampu mendorong pertumbuhan industri pariwisata yang selama ini menjadi lokomotif ekonomi utama di wilayah itu.

"Meskipun kegiatan ini diselenggarakan di perbatasan Kota Yogyakarta dan Sleman, namun pengembangan industri pariwisata tidak bisa dipisahkan oleh batas wilayah," katanya.

Sementara itu, pergelaran busana tersebut sudah direncanakan selama sekitar satu bulan dengan menampilkan 45 karya dari sembilan desainer muda di DIY.

Sembilan perancang busana yang menampilkan karya di Code: Underbridge in Fashion adalah Darie Gunawan, Theo Ridzki, Lulu Lutfie Labibie, Lia Popperca, Djoko Margono, Caroline Rika Winata, Ludwina Wury, Endarwatie, Dede Bastam.

Di dalam karyanya, para desainer muda mencoba memanfaatkan sejumlah bahan bekas atau limbah untuk diaplikasikan dalam busana atau bahkan membuat busana yang seluruh bahannya berasal dari limbah.

Endarwatie yang mengambil tema "Sunset Underbrige" menampilkan gaun malam dari lurik dan batik bewarna jingga yang dikombinasikan dengan plastik bewarna-warni.

Begitu pula dengan karya bertajuk "The Extraordinary Rainbow" Darie Gunawan yang memanfaatkan net, cakram padat, tali rafia serta kemasan detergen dipadukan dengan sifon, katun dan tenun.

Bahkan Theo Ridzki tidak segan-segan memanfaatkan keset kain perca sebagai aplikasi untuk gaun malam yang berasal dari bahan sifon dalam karyanya yang diberi tajuk K-Z (dibaca keset).

Sementara itu, Dede Bastam menampilkan karya yang berasal dari plastik bewarna putih menjadi gaun pesta dan gaun malam yang trendi sesuai dengan selera anak muda.

Sementara itu, meskipun tidak memanfaatkan bahan limbah, namun Lulu Lutfie Labibie membuat busana dari pakaian bekas, misalnya mengubah celana panjang bekas menjadi rok, atau sebaliknya, dari rok menjadi celana.

Bupati Sleman Sri Purnomo dalam sambutannya menyatakan, dirinya senang dengan kegiatan tersebut, dan berharap menjadi langkah awal untuk memanfaatkan bantaran sungai untuk kegiatan yang positif.

"Bantaran sungai, apabila dimanfaatkan untuk kegiatan yang positif, pasti memberikan dampak yang baik, termasuk mengubah citra kawasan tepi sungai dari tempat yang kotor menjadi tempat yang indah dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan," katanya.

Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto juga turut ambil bagian dalam kegiatan tersebut, yaitu berlenggak-lenggok di "catwalk" membawakan busana dan aksesoris berupa topi hasil karya salah satu desainer.

"Yogyakarta istimewan istimewa anak mudanya dan kreasinya. Istimewa untuk Indonesia," katanya mengakhiri pergelaran busana itu.

Meskipun digelar di bantaran sungai, namun kegiatan tersebut mampu menyedot ratusan masyarakat untuk menyaksikannya secara langsung sejak awal hingga acara berakhir, bahkan banyak masyarakat yang menyaksikannya dari atas jembatan.(*)
(U.E013/H-KWR)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011