Jika kita keluar sedikit saja dari apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, pasti akan menimbulkan riak gelombang kecil, hingga besar.
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi I DPR RI (bidang Pertahanan), Tubagus Hasanuddin mengingatkan, konsistensi untuk melaksanakan otonomi khusus, baik oleh Pemerintah Pusat, terlebih Pemerintah Daerah, merupakan solusi untuk mengatasi apa pun masalah di Tanah Papua.

"Jika kita keluar sedikit saja dari apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, pasti akan menimbulkan riak gelombang kecil, hingga besar," tegasnya melalui ANTARA di Jakarta, Sabtu.

Tubagus Hasanuddin kemudian menunjuk kasus terbaru, yakni upaya membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) di Provinsi Papua Barat.

"Padahal, MRP itu sesuai amanat UU Otsus, cuma boleh ada satu. Sekarang, untuk kepentingan kekuasaan sesaat, `dipaksalah` membentuk dua MRP, seolah mengikuti di mana provinsi, di situ harus ada MRP. Ini kan tak konsisten dalam melaksanakan Otsus itu," tandasnya.

Ia menyatakan semua ini, merespons beberapa kegiatan yang berkaitan dengan Papua, seperti aksi unjuk rasa menuntut referendum di Jayapura (ibukota Provinsi Papua) dan di Manokwari (ibukota Provinsi Papua Barat).

Sementara itu, di London berlangsung sebuah seminar, dimotori oleh Benny Wenda, Jennifer Robinson dan Melinda Jankie yang membahas keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.

Benny Wenda dkk tergabung dalam `International Parliementarian for West Papua (IPWP) dan `International Lawyer for West Papua (ILWP), yang kemudian sering menjadikan isu Papua untuk kepentingan pribadi kelompok mereka.

Sebagian peserta seminar yang merupakan simpatisan separatisme beranggapan, Pepera ini tidak sah dan perlu diulang karena tak dilakukan sesuai standar internasional (`one man one vote`).


Pepera Sah

Seminar itu sendiri terkesan ikut difasilitasi oleh Parlemen di Inggris, sehingga menimbulkan kecaman keras dari sejumlah anggota DPR RI, termasuk Tubagus Hasanuddin.

Ia sependapat dengan Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq yang menegaskan, posisi Indonesia tak akan berubah mengenai wilayah Papua sebagai bagian dari NKRI, karena antara lain berbasis kepada Pepera yang sudah disahkan berdasar resolusi PBB.

"Hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) itu sah sesuai `New York Agreement` 1962 dan Pepera ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505, pada tanggal 19 November 1969," ujar Mahfudz Siddiq secara terpisah.

Ini berarti, demikian Mahfudz Siddiq, kembalinya Papua ke pangkuan Indonesia sudah didukung penuh oleh masyarakat internasional dan PBB.

Karena itu, baik Tubagus maupun Mahfudz, berpendapat dengan tegas tentang posisi Indonesia, yakni, Pepera itu sah sesuai `New York Agreement` 1962.

"Dan hasil Pepera sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505, 19 November 1969," tegas Mahfudz Siddiq.

Sebagai Wakil Ketua Komisi I DPR RI yang membidangi Luar Negeri, Pertahanan, Intelijen, Komunikasi dan Informatika, ia menegaskan, prinsip dasar itu tak akan pernah diubah.

Tetapi, Mahfudz dan Tubagus pun sama-sama mengharapkan Pemerintah Pusat melakukan pendekatan yang lebih humanis, berbasis kultural, yaitu, kita semua satu.

"Juga selalu konsisten saja pada amanat Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua," pungkas Tubagus Hasanuddin.

(M036)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011