...tidak sedang mendiktekan kegilaan kepada Si Gila, kegilaan sejatinya terpaku kepada hal-hal lama yang itu-itu saja... hidup makin membosankan. Sang pujangga ingin agar mereka yang mudik di zaman edan ini tidak bersikap nrimo...
Jakarta (ANTARA News) - Tiba-tiba saja, dalam hitungan detik dengan meminjam ungkapan "wus,wus, wus...", tokoh bernama si Gila menghardik mereka yang berjalan di hadapannya seraya berkata, "Anda semua gila di tengah zaman edan, di tengah hiruk pikuk ibu tiri Jakarta yang terus mencari buah hatinya di rimba beton Jakarta."

Fragmen itu bukan tanpa makna di zaman edan. Satu kalimat yang tidak memiliki rujukan, bukan berarti dia dapat divonis sebagai tidak bermakna; bahkan tidak waras sekali pun. Kalimat akan diadili oleh rangkaian peristiwa yang membuat orang dari hari ke hari menjadi edan di tengah zaman serba edan.

Bicara zaman edan, pujangga Ronggowarsito mengutarakan bait-bait kontemplatif --dalam Serat Kalatidha-- ketika mengarungi zaman ini, "Hidup di zaman edan, memang repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya zaman tidak mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan. Tapi sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapu juga, walaupun orang yang lupa itu bahagia, tapi masih lebih bahagia orang yang yang senantiasa ingat dan waspada."

Ronggowarsito tidak sedang mendiktekan kegilaan kepada Si Gila bahwa kegilaan sejatinya adalah terpaku kepada hal-hal lama yang itu-itu saja kemudian hidup dirasa makin membosankan. Sang pujangga ingin agar mereka yang sedang mudik di zaman edan ini tidak bersikap nrimo.

Tidak nrimo, bila menyaksikan ulah koruptor yang dapat membuat negeri ini bak kapal bocor. Tidak nrimo, bila nyanyian sarat kegilaan terdengar dari tersangka dugaan korupsi proyek wisma atlet SEA Games di Palembang, Muhammad Nazaruddin yang berbuntut negeri ini tersandera oleh kegilaan demi kegilaan.


NilepGate

Oleh si jenius Albert Einstein, kegilaan disebut sebagai melakukan tindakan yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda. Inti pesannya, jangan gila saat memahami dunia di sekitar. Dunia sekitar, menurut Ronggowarsito, tidak lepas dari tiga hal, yakni uang (artati), kemelaratan (nistana), kejahatan (jutya).

Apakah fragmen yang dilontarkan Einstein dan Ronggowarsito masih divonis tidak bermakna? Buktinya, sepekan jelang Lebaran, penukaran uang receh telah mencapai Rp54,3 trilyun.

Di luar musim Ramadan, keperluan uang beredar berkisar antara Rp300 triliun hingga Rp320 triliun. "Dari tahun ke tahun peredaran uang naik 12 persen sampai 15 persen," kata Deputi Direktur Direktorat Peredaran BI, Adnan Djuanda.

Dipacu dan dipicu oleh jualan serba obral agar publik dibelai oleh iming-iming bahwa dirimu adalah barang yang kau beli, kegilaan datang silih berganti.

Harga pangan naik merata di semua daerah dan pemerintah dinilai tidak antisipatif. Harga pangan rutin naik serentak menjelang dan selama Idul Fitri. Kebijakan pemerintah pada masa puasa dan Lebaran, bla...bla...bla, dari 2008 sampai dengan 2010, silakan pembaca jeli mengikuti matriks upaya pemerintah.

Setelah membaca warta itu, si Gila masih saja berceloteh, "Anda semua gila." Nyatanya, lebih dari 30 persen pekerja di Indonesia hidup dengan penghasilan kurang dari 1,24 dolar AS (sekitar Rp10 ribu) per hari. Laporan terbaru Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank) memperkirakan Indonesia tidak kuasa alias terancam gagal mencapai target pengurangan tingkat malnutrisi pada 2015 sesuai dengan MDGs.

Jagat cilik dari catatan ADB itu dapat disimak dari satu gambar depan harian Kompas (2/8) berjudul "Berbuka Puasa di Pasar". Mengenakan batik merah motif dedaunan, Ngadiem, pedagang bawang merah berbuka dengan menu sederhana di Pasar Kanjengan, Kota Semarang, Jawa Tengah.

Ia menuang air putih dari kantong plastik agar ujung plastik mengerucut siap mengguyur kerongkonganya setelah seharian menjalani ibadah puasa. Ngadiem berdagang dari subuh sampai petang agar dapat menyambung hidup seperti perlahan tuangan air ke mulutnya.

Profil Ngadiem dapat dijadikan kaca benggala di tengah zaman edan. Ciri utama zaman edan (Kala Bendu), yakni orang mudah marah, sarat konflik. Angkara murka meraja dan orang sibuk memenuhi kebutuhan demi diri sendiri. Berbagi menjadi kata mewah saat mengarungi Kala Bendu. Ironisnya, orang berderma satu juta sambil menilep uang trilyunan.

Bisnis zaman edan dilabel sebagai masuk kantong kanan keluar kantong kiri. Saya memberi agar engkau memberi. Kalau kita sepakat dengan harga tertentu, maka tinggal bungkus dan beri sinyal oke bahwa "vitaminnya terbungkus kardus duren montong" di kantor urusan tenaga kerja dan transmigrasi.

Dan delapan juta pemudik kini akan bergerak dan berkerumun seraya berorasi, "itu uang kami dan beri kami pekerjaan bila kami nanti kembali ke Jakarta." Jawabannya, pemerintah memajukan pembayaran gaji pegawai negeri sipil (PNS) untuk bulan depan menjadi 26 Agustus karena mempertimbangkan panjangnya libur Idulfitri.

"Setelah dilakukan kajian, pemerintah memutuskan untuk gaji pensiunan dan PNS untuk September dimajukan dan dibayar 26 Agustus," kata Menteri Keuangan, Agus Martowardojo. "Jangan sampai gaji September yang akan dibagikan pada 26 Agustus nanti habis dibelanjakan," katanya.


FulusGate.

Mudik di zaman edan mengerucut kepada mistisisme tiada. Mereka yang suka mroyek, berhentilah. Mereka yang suka todong sana-todong sini, berhentilah. Meminjam istilah filsuf Bataille, hidup yang menghasilkan terang dan menumbuhkan keheningan budi. Keinginan mempertahankan kehidupan bernilai jahat, kata filsuf Schopenhauer.

Si Gila pun berujar, salam untuk Ngadiem yang tidak ingin bermobil ria bila pergi ke pasar. Soal pasar, Ronggowarsito berkata, hidup di dunia tidaklah lama. Ibarat manusia pergi ke pasar, akan segera kembali ke rumah asalnya. Hidup manusia di dunia sekedar "mampir ngombe".

Dan si Gila berteriak, "Anda gila!" (A024)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011