Bogor (ANTARA News) - Rektor Universitas Indonesia Gumilar R Somantri menyatakan, pemberian gelar doktor honoris causa (HC) kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud melalui proses yang amat panjang dan telah sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) akademis.

"Pemberian gelar ini tidak dalam waktu singkat tapi melalui proses yang amat panjang yang dilakukan oleh tim Komite Tetap Guru Besar UI. Pemberian gelar ini juga telah mengikuti SOP yang ada di UI," kata Rektor dalam wawancara khusus di kediamannya Kampung Pasir Kalong, Desa Sukakarya, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat malam.

Rektor menjelaskan, bahwa proses penetapan HC tersebut memakan waktu selama tiga tahun lamanya. Dalam proses tersebut telah dilakukan pertimbangan antara peer review dan tim Komite Tetap Guru Besar UI untuk penganugrahan guru besar HC.

Ia mengatakan, bahwa pemberian gelar ini bukan keputusan individu rektor saja. Tapi atas nama institusi yang memiliki tujuan besar untuk pengembangan kerja sama antara Indonesia dan Arab Saudi yang notabene memiliki hubungan kerja khususnya bidang tenaga kerja.

"Proses ini sangat panjang, kita tahu untuk tembus ke Arab itu sulit sekali. Kita sudah mengirimkan tim advance tiga kali kesana, baru bisa tembus," kata Rektor.

Rektor mengatakan, permasalahan HC ini hanya momentum saja. Karena pemberiannya terjadi setelah kasus Rukyati. Sementara, rencana dan penilaian pemberian penghargaan ini sudah dilaksanakan jauh hari.

Ia menyatakan, bahwa penilai pemberian penghargaan ini sesuai SOP akademisi, di mana Tim Komite Guru Besar UI untuk penganugerahaan gelar HC mengajukan nama calon penerima.

Pemberian HC tesebut dilakukan melalui kajian yang dilakukan oleh tim Komite Tetap Guru Besar yang berjumlah delapan orang ditambah satu dari sekretaris.

Komite ini bertugas untuk mengkaji apakah orang tersebut pantas memberikan gelar HC, namun, apakah penilaian ini layak. Maka komite biasanya membentuk peer review yang terdiri dari ahli-ahli yang relevan dengan doktor HC yang diberikan.

"Di dalam konteks tersebut, 'peer review' bersama-sama melakukan rapat untuk melihat kajian dari komite dan 'peer review'. Ketika diputuskan bersama bahwa yang bersangkutan layak diberikan HC, kemudian mereka bersama-sama membuat alasan kenapa yang bersangkutan diberikan HC. Alasan tersebut dibuat melalui proses studi. Ini kajian akademis," katanya.

Setelah pembentukan tersebut dilakukan kedua tim akan mengajukan surat kepada rektor sebagai institusi yang memiliki jalur diplomasi.

Di sana rektor akan mengeluarkan SK, untuk dilakukan proses pemberian penganugrahan tersebut. Pemberian penganugerahan tersebut dapat dilakukan dalam tiga tahap, melalui wisuda UI, atau agenda tertentu di luar UI.

"Penghargaan ini juga bisa diberikan di luar UI dengan alasan tertentu seperti, alasan kesehatan, dan alasan kondisi di negara yang akan diberikan penghargaan," kata Rektor.

Untuk penghargaan kepada Raja Arab sendiri, UI memilih memberikan langsung penghargaan ke Arab karena pertimbangan kesehatan Raja Arab yang sudah sepuh.

Terkait momentum pemberian penghargaan tersebut lanjut Raktor, pihaknya prihatin, karena keputusan yang dilakukan tiga tahun lalu menjadi sulit. Karena situasinya pada bulan Juli setelah kasus Rukyati, ada pemberitahuan pemberian HC sudah dilakukan oleh 'royal cord' di 10 hari bulan Ramadhan.

Rektor mengatakan, pihaknya memahami ada kontroversi dan sensitivitas. "Kami sensitif,  tapi ini tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi," katanya.

         
Rektor menegaskan bahwa HC ini merupakan studi akademisi dan jangan dikaitkan dengan politisi.

"Hendaknya kita melihat peluang besar dari kerjasama ini. Di mana kita datang bukan dalam rangka meminta tapi memberi penghargaan. Di mana penghargaan HC UI menjadi penilaian bagi masyarakat Arab Saudi terhadap Indonesia," katanya.

Rektor menambahkan, bahwa jangka panjang dari pemberian HC ini dapat berdampak pada nasib enam TKI Indonesia yang sedang dalam proses hukum mati dan ada 2 juta jiwa TKI yang masih minim pengetahuan.
(T.KR-LR)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011