Perserikatan Bangsa-Bangsa (ANTARA News/AFP) - Perserikatan Bangsa-Bangsa menekan pemerintah pemberontak Libya memberi jabatan tinggi kepada lebih banyak wanita dan memberikan lebih banyak perhatian kepada kesetaraan jenis kelamin dalam undang-undang dasar baru, kata diplomat dan pejabat badan dunia itu.

Hanya satu wanita antara 13 anggota bakal pemerintah, yang diakui lebih dari 80 negara dan di ambang mendirikan kubu di Tripoli saat pemberontak itu memburu Moamar Gaddafi.

Duta utama Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Libya, Ian Martin, menyatakan menyoroti kekhawatiran badan dunia itu kepada dewan peralihan negara, sementara beberapa negara mengungkapkan kekhawatiran atas versi awal undang-undang dasar baru pasca-Gaddafi.

Kepala badan Perserikatan Bangsa-Bangsa urusan Perempuan, Michelle Bachelet, mantan presiden Cile, mengeluh kepada sekretaris jenderal badan dunia itu, Ban Ki-moon, tentang Libya, kata diplomat.

Titik berat harapan perempuan untuk pemerintah baru Libya sejauh ini terletak pada Salwa Fawzi Degheli, cendekiawan dari ibukota pemberontak, Benghazi.

Laman dewan peralihan itu menyatakan Deghali bertanggung jawab atas urusan hukum dan mengetuai panitia penasihat.

Ditambahkannnya, "Ia juga mewakili perempuan."

Ada juga satu wanita di badan pelaksana dewan itu, Hani Gmati, yang bertanggung jawab atas kesejahteraan sosial.

Tapi, badan itu dibubarkan pada Agustus setelah pembunuhan seorang jenderal pemberontak.

Saat berbicara pada sidang Dewan Keamanan tentang Libya pada Jumat, Martin, penasihat khusus pemimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon, menyatakan mengangkat masalah kekurangan wanita itu dengan pemerintah pemberontak, yang dikuasai laki-laki, dalam perjalanan ke Benghazi pada pekan lalu.

"Hanya ada satu wanita anggota dewan peralihan negara saat ini dan saya harap bahwa ketika dewan itu diperluas, keterwakilan perempuan ditambah," kata Martin.

"Kami di Tripoli juga bertemu dengan sekelompok perempuan, yang saya dapat yakinkan Anda sangat bertekad untuk menegaskan peran dalam peralihan itu. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendukung upaya mereka untuk memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam proses politik itu," katanya.

Banyak negara juga mengikuti perlakuan atas perempuan di undang-undang dasar baru Libya, kata Duta Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa asal Norwegia Morten Wetland.

"Kami menerima gambaran awal undang-undang dasar Libya. Kami menerima bahwa itu permulaan dan sementara, tapi mereka tidak menghargai perubahan modern, yang menyatakan bahwa lebih dari setengah warga negara itu harus ikut dalam kehidupan politik, kata Wetland kepada kantor berita Prancis AFP.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa diperkirakan mengeluarkan resolusi untuk memberi amanat bagi tugas baru badan dunia itu di Libya, yang akan mencakup tugas politik memberi saran tentang pembuatan undang-undang dasar baru.

Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa menyoroti kebutuhan memasukkan perempuan dalam kehidupan politik.

Dewan Keamanan badan dunia itu meloloskan resolusi untuk penciptaan perdamaian pada 2000, yang juga menyatakan wanita harus terlibat.

"Libya adalah negara keluar dari kemelut, sehingga perempuan harus terlibat," kata Wetland bersikeras.

Diplomat Barat kepada AFP menyatakan Bachelet, kepala lembaga wanita Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dibentuk pada September tahun ini, juga terlibat di upaya belakang layar di markas badan dunia itu tentang pemerintahan pemberontak Libya, yang dikuasai pria.

(B002/Z002) 

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011