Kuala Lumpur (ANTARA News) - Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Malaysia menyesalkan polemik yang terjadi akibat terlalu banyaknya pihak di negara itu yang memberikan komentar terhadap situasi moratorium penata laksana rumah tangga (PLRT) dari Indonesia.

"Terjadi polemik dipicu oleh pernyataan sejumlah pihak di negara ini yang bisa dikatakan sebagai ancaman terhadap Indonesia yang masih melakukan moratorium PLRT," kata Kepala Bidang Penerangan, Sosial, Budaya KBRI untuk Malaysia Suryana Sastradiredja di Kuala Lumpur, Selasa.

Menurut dia, para pihak yang memberikan komentar itu seolah mengancam akan memberikan izin kepada para warga negara Malaysia untuk bisa merekrut langsung PLRT dari wilayah Indonesia dan kemudian akan diberikan izin kerja (working permit).

Pernyataan yang dimuat oleh sejumlah media massa Malaysia itu dapat dikatakan sebagai pengumuman resmi dan sikap Pemerintah Malaysia mengenai keinginan untuk rekrutmen langsung tersebut.

Mereka menyatakan bahwa pada intinya pemerintah Indonesia tidak menepati janji untuk mencabut moratorium, padahal nota kesepahaman (MoU) telah ditandatangani kedua negara pada 30 Mei 2011.

Hal ini dikeluhkan oleh sejumlah pihak agen di Malaysia karena sejak ditandatangani MoU pada bulan Mei lalu itu belum ada pengiriman PLRT ke Malaysia sementara permintaan di negara ini cukup besar.

Para pihak itu juga menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah Indonesia untuk tidak mencabut moratorium mengingat pihak Malaysia telah melaksanakan kondisi yang disyaratkan dalam MoU.

Sedangkan pihak agen di Malaysia menyalahkan para agen di Indonesia yang enggan mengirimkan PLRT ke Malaysia dengan alasan tidak menguntungkan karena rendahnya biaya yang ditetapkan dalam MoU.

Suryana mengatakan, pernyataan-pernyataan itu sangatlah disesalkan dan dianggap sebagai bentuk tidak menghormati hukum (undang-undang) Indonesia mengenai pengiriman dan perlindungan PLRT.

"KBRI sesalkan adanya polemik ini dan meminta pihak Malaysia untuk menahan diri terkait keinginan perekrutan langsung," ungkapnya.

Ia mengingatkan situasi ini memang terlalu kompleks sebab banyak pihak-pihak yang tidak mengerti ikut bicara, padahal MoU itu adalah produk dari dua negara berdaulat dan bukan dari buatan pihak swasta.

"Perlu diingat bahwa MoU itu bukan kontrak jual beli. Ini adalah perjanjian yang berisi hak dan kewajiban serta rambu-rambu yang harus dipatuhi dua negara dalam pengiriman dan penerimaan PLRT," tegasnya.

Sedangkan mengenai pihak agen di Indonesia enggan mengirimkan PLRT ke Malaysia, ungkap dia, bukan karena tidak ingin mengirimkan karena soal struktur biaya tapi lebih dikarenakan saat ini masih dalam situasi moratorium.


Sikap Indonesia

Sementara itu, sikap pemerintah Indonesia sampai saat kini masih menerapkan moratorium karena belum jelasnya sikap pemerintah Malaysia dalam memenuhi kondisi dan persyaratan yang ada dalam MoU tersebut seperti kesediaan majikan memberi satu hari libur per minggu, paspor di pegang PLRT ataupun pembayaran gaji melalui bank dan termasuk tidak diperbolehkan rekrutmen langsung.

"Untuk itu, Joint Task Force haruslah dimantapkan yang akan bertugas untuk menangani pelanggaran, pengawasan hak dan kewajiban PLRT ataupun majikan. Bila semua kondisi dipenuhi maka moratorium dapat segara dicabut," ungkapnya.

(T.N004/Z002)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011