Jakarta (ANTARA News) - Pelaku usaha menilai pelayanan penyimpanan devisa di bank-bank dalam negeri hingga kini kurang kompetitif sehingga sebagian eksportir memilih menggunakan bank luar negeri untuk menyimpan devisa hasil ekspor.

"Biaya perbankan dalam negeri kurang kompetitif, ongkosnya besar. Sekarang ini memarkir devisa di bank luar negeri lebih murah biayanya," kata Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal dan Publik pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Hariyadi B Sukamdani ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis.

Sebagian bank di luar negeri, menurut dia, juga memungkinkan pengusaha menggunakan simpanan devisa hasil ekspor sebagai jaminan guna mendapatkan fasilitas kredit perbankan untuk memperbesar kapasitas bisnisnya.

"Kalau di bank-bank sini itu kan susah dilakukan," katanya.

Dengan kondisi yang demikian, kata dia, akan sulit bagi eksportir untuk menjalankan peraturan Bank Indonesia yang mewajibkan mereka menyimpan devisa hasil ekspor dan pinjaman luar negeri di bank devisa dalam negeri.

"Kalau katanya ada ancaman sanksi, kami ingin mengingatkan, apakah itu bisa dilakukan Bank Indonesia terhadap eksportir dengan rezim devisa bebas yang sampai sekarang masih kita anut. Kalau bisa dilakukan, dengan instrumen apa? tuturnya.

Menurut dia, penerapan aturan yang ditujukan untuk memperbaiki pendataan devisa ekspor tersebut hanya bisa efektif jika disertai dengan peningkatan daya saing pelayanan penyimpanan devisa di bank-bank dalam negeru.

"Hanya bisa efektif kalau ada rangsangannya. Misalnya dengan daya saing sistem perbankan dalam negeri yang lebih tinggi. Lalu bunga pinjaman yang masih tinggi diturunkan. Ini penting karena sebenarnya inilah yang membuat orang memilih menggunakan bank asing," kata dia.

Oleh karena itu, Hariyadi berharap, Bank Indonesia menyertai aturan penyimpanan devisa hasil ekspor yang rencananya diberlakukan mulai 1 Oktober 2011 dengan langkah-langkah nyata untuk meningkatkan daya saing bank-bank devisa dalam negeri.

Bank Indonesia berencana mengeluarkan peraturan yang mewajibkan devisa hasil ekspor dan pinjaman luar negeri disimpan di bank devisa dalam negeri pada Oktober 2011 dengan masa transisi sampai 31 Desember 2011.

Menurut Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, selama 2012 BI juga masih memberikan jangka waktu maksimal enam bulan untuk memasukkan DHE dari saat eksportir melakukan ekspor dengan mengisi pemberitahuan ekspor barang (PEB) dan maksimal tiga bulan setelah pengisian PEB pada 2013.

Namun, kata dia, sanksi kepada eksportir dan peminjam utang luar negeri yang tidak memasukkan DHE dan utang luar negerinya ke bank nasional akan berlaku efektif mulai 2 Januari 2012.

Darmin menjelaskan kebijakan ini akan memberikan kepastian mengenai hasil devisa dari ekspor yang jika disimpan di bank dalam negeri bisa membantu penyediaan valas yang selama ini bergantung pada capital inflow dan pinjaman luar negeri.

"Kebijakan ini akan membangun stabilitas dan ketahanan ekonomi nasional kita, karena dengan kebijakan ini suplai valas tidak bergantung pada capital inflow sehingga bisa terbebas dari guncangan yang tidak perlu dan bunga menjadi lebih menarik," katanya.

Darmin menjelaskan kebijakan ini tidak sama dengan repatriasi karena DHE tersebut tidak diharuskan berada dalam waktu tertentu di bank dalam negeri ataupun dikonversi ke rupiah, karena setelah beberapa saat pun dana itu bisa kembali dipindahkan ke luar negeri.

"Yang bisa diwajibkan adalah membawa masuk DHE ke bank di dalam negeri sehingga jelas pencatatannya, lalu kalau mau dibawa ke luar lagi secepatnya silakan saja," katanya.

BI juga mengharapkan perbankan nasional terutama bank devisa memperbaiki kemampuan dalam menyediakan produk dan pelayanan sehingga DHE bisa berada lebih lama ataupun dimanfaatkan untuk kepentingan di dalam negeri.

(T.M035/B012)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011