Saya dari tahun 80-an bergelut dengan sampah dan tetap eksis hingga kini semuanya karena sampah,"
Jakarta (ANTARA News) - Nursalam,  biasa disapa dengan Pak Salam, merintis usaha daur ulang kertas di bawah naungan nama Kedai daur ulang sejak tahun 1996.

Di kedai Jalan Mampang Prapatan XI no. 3A Jakarta Selatan itu, Pak Salam dan enam pegawainya sibuk mendaur ulang kertas. Peralatan di kedai berukuran 5x10 meter itu cukup mesin blender dan bak penampung serta alat cetak.

Dalam sehari pria kelahiran Jakarta mengaku kedainya bisa mendaur ulang sampah kertas 50 sampai 60 kg. Sampah kertas diubah menjadi produk benilai seperti kotak pensil ,gantungan kunci, kotak penyimpanan berkas.

"Saya dari tahun 80-an bergelut dengan sampah dan tetap eksis hingga kini semuanya karena sampah," katanya.

Kedai Daur Ulang menjual produk recycle kertas mulai dari 5 ribu rupiah hingga puluhan ribu rupiah.

Pelanggan tetapnya antara lain perusahaan-perusahaan yang mengusung jargon green office. Kedai itu juga jadi tempat pembelajaran siswa SD hingga SMA mengenai pengelolaan dan daur ulang sampah khususnya kertas.

Kedai berukuran 5 kali sepuluh meter itu melakukan proses daur ulang kertas hanya bermodalkan mesin blender dan bak penampung serta alat cetak kertas.

Pria lulusan sastra Inggris itu mengungkapkan bahwa proses mendaur ulang sampah kertas itu cukup sederhana. Kertas dihancurkan dengan menggunakan mesin blender guna dijadikan bubur. Selanjutnya bubur dijadikan lembaran yang akan jadi bahan baku untuk membuat produk-produk bernilai guna.

"Mendaur ulang 1 ton sampah kertas sama dengan menyelamatkan 7 pohon dewasa. Kalau pabrik kertas membuat satu ton bubur kertas sama dengan menggunduli seperempat hektare hutan," kata Salam.

Salam mengaku sudah menggeluti  dunia lingkungan sejak tahun 1980-an ketika masih duduk di bangku SMA.

Tahun 1983 dia menjadi manajer kampanye masalah pencemaran air dan masalah sampah. "Saat itu sampah belum menjadi persoalan di Jakarta. Waktu tahun 80an kita dianggap orang gila berbicara sampah," kenangnya.

Dia mengaku daur ulang bukan solusi masalah sampah namun untuk memperlambat volume sampah.

Menurut Salam, selama  empat gubernur yang memimpin DKI Jakarta, belum ada program yang signifikan tentang sampah. "Ada reuse, reduce, recycle tapi pola pengelolaannya masih sentralistik. Sebaiknya pengelolaan Per kecamatan dan kelurahan yang bekerja terintegrasi, karena biayanya jauh lebih murah," katanya.

Dia sudah melakukan perhitungan dan menurut dia mengelola sampah rumah tangga 1 kelurahan hanya perlu lahan  200 hingga 300 meter persegi.

"Kalau sampah kalau tidak dijadikan kawan, dia akan menjadi bom waktu. Ingat, bumi ini bukan pinjaman dari nenek moyang tapi masa depan buat anak cucu kita." katanya.
(yud)

Pewarta: Yudha Pratama Jaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011