Washington (ANTARA News) - Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mengatakan Kamis dia tidak akan lengser jika bekas sekutu-sekutunya yang berbalik menjadi lawan diijinkan maju dalam pemilu -- sebuah potensi kemunduruan bagi harapan transisi damai.

Pemimpin yang sedang berjuang itu mengatakan kepada Time dan The Washington Post bahwa kesepakatan peralihan kekuasaan yang dirancang oleh tetangga-tetangganya di Teluk menyerukan supaya "seluruh elemen" yang menyebabkan ketegangan di Yaman disingkirkan -- dan memperingatkan perang saudara jika hal itu tidak dilaksanakan, lapor AFP.

Dia menunjuk pada pembangkang Jenderal Ali Mohsen al-Ahmar, yang telah bergabung dengan pemberontakan rakyat mulai awal tahun ini, dan suku kuat Ahmar, tidak ada kaitannya dengan jenderal tersebut.

Ketika ditanya apakah dia akan mengalihkan kekuasaan apabila jenderal tersebut dan suku Ahmars masih memiliki pengaruh, Saleh menjawab, "Tidak."

"Jika kami mengalihkan kekuasaan dan mereka disana, ini akan berarti bahwa kami telah menyerah pada kudeta," kata Saleh dalam wawancara pertamanya sejak kembali ke negaranya Jumat dari  Arab Saudi untuk memulihkan luka-luka yang dideritanya akibat serangan Juni di istananya.

"Jika kami menyerahkan kekuasaan, dan mereka dalam posisi mereka, dan mereka masih merupakan pengambil keputusan, ini akan sangat berbahaya. Ini akan mengarah pada perang saudara."

Time dan The Washington Post mengatakan wajah Saleh bertanda "luka sayat dalam" dan dia kesulitan mendengarkan. Hanya foto jarak jauh penguasa lama itu dipublikasikan bersama dengan artikel ini, tidak ada close-up.

Saleh mengenakan sarung tangan warna emas seperti yang dipakai oleh korban terbakar untuk mencegah kengerian.

Presiden Yaman itu mengatakan bahwa Mohsen dan suku Ahmer, bersama sama dengan oposisi, mungkin telah memainkan peran dalam upaya pembunuhan  terhadapnya, dan akan menghadapi tuntutan jika mereka didapati bersalah.

Pemerintahnya sedang menunggu hasil investigasi AS mengenai serangan tersebut yang Saleh katakan seharusnya akan selesai sebelum akhir bulan ini.

Namun ditanya mengenai penindasan keras yang dilakukan pasukan keamanannya terhadap rakyat yang menuntut diakhirinya kekuasaannya selama 33 tahun, Saleh menyalahkan jenderal pembangkang itu dan suku Ahmar.

"Mereka membunuh para pemrotes dari belakang jadi mereka dapat menyalahkan negara," katanya.

Saleh, yang berada di bawah tekanan internasional agar melepaskan kekuasaan dan mengizinkan pemilu baru, memicu gelombang kekerasan baru saat kepulangannya, yang menimbulkan sejumlah orang tewas.

Presiden berusia 69 tahun itu telah berulang kali menolak menandatangani kesepakatan yang diperantarai oleh Dewan Kerjasama Teluk (GCC) dimana dia akan menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden Abdrabuh Mansur Hadi sebagai imbalan kekebalan dari tuntutan.

Dalam wawancara itu, Saleh menekankan dia tetap komit dengan inisiatif GCC, menyangkal klaim dia melakukan penundaan agar dapat terus memegang tampuk kekuasaan dan menyalahkan ketidakfleksibelan oposisi.

"Ini merupakan salah pengertian. Kami mau dalam hitungan jam kedepan dan hari berikutnya untuk menandatanganinya, jika JMP makin mendekat" untuk mencapai kesepakatan, kata Saleh tentang koalisi oposisi Joint Meetings Party (JMP).

"Kami tidak ingin memperpanjangnya. Dan kami tidak ingin krisis ini berlanjut. Kami ingin negara ini keluar dari krisis ini...Peralihan kekuasaan adalah sebuah keniscayaan, cepat atau lambat." (K004)

Penerjemah: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011