Jakarta (ANTARA News) - PT PLN dalam memberikan ganti rugi kepada masyarakat yang tanahnya dilalui Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) hanya bekerja mengikuti peraturan yang ada, dan jika masyarakat menginginkan penyelesaian lain, maka peraturannya harus diubah dulu. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Direktur Transmisi dan Distribusi PT PLN, Herman Darnel, usai menyampaikan makalahnya dalam diskusi panel "Permasalahan Penggunaan SUTET Dalam Sistem Ketenagalistrikan di Indonesia", di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Senin. "Kami telah memahami sepenuhnya keinginan mereka, semuanya tentang ganti rugi. Ada permintaan, agar PLN membeli tanah mereka bukan sekedar kompensasi," kata Herman. Tetapi, lanjut dia, PLN mengacu pada Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01.P/47/MPE/1992 tentang Ruang Bebas SUTET dan SUTET Untuk Penyaluran Tenaga Listrik pasal 5 ayat (3) tentang tanah tempat untuk mendirikan tapak penyangga termasuk bangunan dan tanaman yang berada di atas tanah tersebut harus dibebaskan dan diberikan ganti rugi. "Kemudian dikeluarkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 975 K/47/MPE/1999 sebagai pengganti, di mana tanah/bangunan yang telah ada sebelumnya yang berada di bawah proyeksi ruang bebas SUTT/SUTET diberikan kompensasi," katanya. Menurut dia, aturan yang ada hanya mewajibkan PLN untuk memberikan kompensasi bukan membeli tanah warga, sehingga permintaan untuk membeli tanah tentu saja tidak dapat dipenuhi. Kompensasi dari PLN, menurut peraturan yang ada, adalah berkisar 10 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di mana tanah tetap menjadi hak warga dan bisa dimanfaatkan. "Kalau aturannya hanya kompensasi, maka jika nantinya ada pembelian tanah, justru akan melanggar dan bisa jadi temuan BPK," katanya. Ketika ditanya pers, apakah kompensasi senilai 10 persen NJOP telah layak atau belum, Herman mengaku tidak mengetahui secara persis dari mana asal angka 10 persen itu. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa sebagai regulator, maka PLN siap melakukan apapun juga sesuai dengan kebijakan pemerintah, sehingga tuntutan yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah tentu di luar wewenang PLN. "Lagi pula, PLN itu adalah perusahaan, jadi apapun pembiayaan yang dikeluarkan nantinya akan dibebankan ke konsumen. Jika PLN disuruh membeli tanah masyarakat, maka pembiayaannya mungkin akan dibebankan kepada konsumen atau perlu anggaran khusus. Jika semua itu disetujui, PLN siap-siap saja mengeluarkan uang," katanya. Namun, Herman juga mengatakan bahwa dia tidak bermaksud untuk mengadu masyarakat umum konsumen listrik dengan masyarakat yang mengaku sebagai korban SUTET. Saat ini, kata dia, kelompok masyarakat yang menolak SUTET ada sekitar 127 Kepala Keluarga (KK), padahal SUTET melalui lahan sepanjang 27.000 kilo meter (km), yang jika diasumsikan setiap orang memiliki 1.000 meter persegi tanah, maka ada 100.000 KK. "PLN telah berunding dengan mereka, tetapi sejauh ini belum berhasil menemukan titik temu," katanya. Menanggapi pertanyaan pers, apakah ada kemungkinan membangun SUTET tanpa perlu melalui pemukiman, Herman mengatakan bahwa hal itu hampir tidak mungkin. "Sudah pernah dipikirkan hal itu, tetapi walau dibelok-belokkan bagaimana pun juga ujung-ujungnya akan selalu ketemu pemukiman, karena tata ruang kita," katanya. Sementara itu, enam pelaku aksi mogok makan dan jahit mulut SUTET yang semula melakukan aksi di bekas Kantor DPP PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, pada Senin pagi pindah lokasi ke depan Gedung BPPT di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Menurut koordinator aksi, Mustar Bona Ventura, aksi tersebut sengaja diboyong ke depan kantor BPPT sebagai bentuk protes kepada PLN yang tengah menyelenggarakan diskusi tentang SUTET di kantor BPPT. "Kami baru tahu acara ini tadi malam sekitar pukul 23.00 WIB, maka pagi ini kami mengusung teman-teman yang melakukan aksi mogok makan dan jahit mulut ke tempat ini sebagai bentuk penolakan," katanya. Salah seorang yang mengaku wakil dari pengunjuk rasa, Jimmy, bahkan sempat memotong acara presentasi dan menyampaikan kata-kata yang menghujat para panelis sebagai orang-orang yang tidak tahu penderitaan rakyat dan melacurkan ilmu pengetahuan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006