Sanaa (ANTARA News) - Demonstran Yaman hari Jumat mendesak PBB campur tangan untuk mengadili Presiden Ali Abdullah Saleh karena penumpasan protes anti-pemerintah yang menewaskan ratusan orang.

"Kami ingin dunia mengeluarkan sebuah resolusi yang membela darah revolusioner," teriak pemrotes pada pertemuan besar di dekat "Lapangan Perubahan" di Sanaa pusat yang telah menjadi pusat kampanye untuk menggulingkan Saleh, lapor AFP.

Demonstran, yang kata penyelenggara protes berjumlah ratusan ribu orang, mendesak pemimpin veteran Yaman itu diadili.

"Tidak akan ada kekebalan... Saleh dan kroni-kroninya harus menghadapi pengadilan," kata pemrotes, yang berkumpul setelah sholat Jumat seperti yang biasa mereka lakukan sejak meletusnya protes anti-pemerintah pada akhir Januari.

Pasukan di bawah komando Jendral pembangkang Ali Mohsen al-Ahmar, yang beralih pihak ke kubu oposisi pada Maret, dikerahkan untuk melindungi demonstran.

Pada protes tandingan, puluhan ribu demonstran pro-pemerintah berkumpul di dekat istana presiden di Sanaa selatan dengan bersumpah akan membela Saleh, yang telah berkuasa selama tiga dasawarsa.

"Rakyat ingin Ali Abdullah Saleh... Dengan jiwa kami, dengan darah kami, kami akan mengorbankan diri kami bagi anda, Saleh," teriak mereka, seperti ditayangkan televisi pemerintah.

Pemrotes yang menuntut pengunduran diri Saleh berharap Dewan Keamanan PBB segera mengambil tindakan yang menentukan.

Demonstrasi di Yaman sejak akhir Januari yang menuntut pengunduran diri Saleh telah menewaskan ratusan orang.

Dengan jumlah kematian yang terus meningkat, Saleh, sekutu lama Washington dalam perang melawan Al-Qaida, kehilangan dukungan AS.

Pemerintah AS mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merundingkan pengunduran diri Saleh dan penyerahan kekuasaan sementara, menurut sebuah laporan di New York Times.

Para pejabat AS menganggap posisi Saleh tidak bisa lagi dipertahankan karena protes yang meluas dan ia harus meninggalkan kursi presiden, kata laporan itu.

Meski demikian, Washington memperingatkan bahwa jatuhnya Saleh selaku sekutu utama AS dalam perang melawan Al-Qaida akan menimbulkan "ancaman nyata" bagi AS.

Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al-Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.

Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).

Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaida memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.

Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaida AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.

AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.

Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaida. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.

Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011