... Sebetulnya banyak proyek di bidang kemaritiman di Indonesia yang dibiayai dengan pinjaman atau hibah dari pemerintah Jepang...
Beberapa waktu lalu media massa Indonesia memberitakan komitmen Jepang untuk pemberdayaan bidang kemaritiman negeri ini senilai 400 juta dolar AS. Beritanya tidak salah, hanya betulkah komitmen tersebut?

Berdasarkan penilaian penulis, berita itu bersifat sepihak karena tidak ada pernyataan resmi dari otoritas Jepang, seperti Kementerian Luar Negeri (MOFA) atau dari lembaga setengah resmi Japan International Cooperation Agency (JICA). Dalam kalimat lain, komitmen 400 juta dolar  AS itu tidak jelas ada atau tidak. Kalaupun ada, masih panjang jalan yang harus ditempuh untuk bisa direalisasikan.

Namun, pernyataan di depan tidak berarti bahwa Jepang kehilangan komitmennya dalam pengembangan bidang kemaritiman di Indonesia. Negeri ini tetap membantu Indonesia menata bidang kemaritimannya agar lebih baik lagi. Salah satunya, menurut data JICA, adalah technical cooperation project (TCP) untuk peningkatan sektor pelayaran dan perhubungan laut. Proyek ini telah berjalan dan kini sudah memasuki fase kedua.

Proyek tersebut dimaksudkan untuk mempromosikan program pembiayaan kapal oleh masyarakat atau public ship financial program/PSFP.  Nantinya, jika proyek berjalan sesuai dengan cetak birunya, industri kemaritiman Indonesia diharapkan akan lebih modern dari kondisi saat ini karena tersedianya dana dari masyarakat, baik kalangan perbankan maupun lembaga pembiayaan.

JICA kini sedang mempertimbangkan melanjutkan proyek itu. Dan, studi pendahuluan untuk itu telah diadakan dari Maret hingga September lalu.  Laporannya kini sedang dipersiapkan. Isyarat yang penulis tangkap, proyek itu akan dilanjutkan. Tinggal pemerintah kedua negara mengumumkannya secara resmi nanti. Mekanisme inilah yang tidak ada dalam komitmen pinjaman 400 juta dolar AS tadi.

Sebetulnya banyak proyek di bidang kemaritiman di Indonesia yang dibiayai dengan pinjaman atau hibah dari pemerintah Jepang. Dimulai sejak 1970, setidaknya ada 21 proyek pinjaman telah dilaksanakan dengan nilai total 700 miliar yen atau setara dengan 900 juta dolar AS. Pembiayaan ini adalah untuk peningkatan keselamatan pelayaran, pengembangan sumber daya manusia atau kepelautan, dan fasilitas kepelabuhanan.

Beberapa contoh di antaranya, Jepang membantu pembangunan berbagai rambu navigasi atau aid to navigation (ATN) senilai 630 juta yen pada 1970. Inilah komitmen pertama Jepang untuk Indonesia. Setahun kemudian, Jepang mengalokasikan dana sebesar 373 juta yen untuk pembangunan graving dock di Surabaya. Pada tahun 1972 tidak ada dana yang dikucurkan oleh Jepang.

Bantuan dilanjutkan kembali pada tahun 1973, yakni sebesar 360 juta yen, untuk rehabilitasi ATN yang ada. Bantuan ini untuk sektor keselamatan pelayaran.

Sementara untuk sektor kepelautan, Jepang membantu pembangunan sekolah pelaut (level rating atau non-perwira) senilai 8 miliar yen lebih pada tahun 1995. Dan, untuk sektor kepelabuhan, Jepang membantu berbagai pekerjaan pengerukan dan pemasangan berbagai fasilitas pelabuhan di seluruh Indonesia senilai 356 juta yen pada tahun 1976.
Selain dari pemerintah Jepang, bantuan juga mengalir dari lembaga-lembaga non-pemerintah untuk sektor yang lebih kurang sama.

Di samping bantuan teknis tersebut, Jepang juga melakukan berbagai studi yang hasilnya digunakan, baik oleh pihak Jepang maupun Indonesia. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Cooperative Japan Shipbuilders and Japan Ship Technology Research Association pada tahun 2010.

Dari hasil kajian itulah muncullah isu untuk memberdayakan bidang kemaritiman di Indonesia dengan skema pemberdayaan tertentu, dalam hal ini TCP. Komitmen pinjaman 400 juta dolar AS yang diberitakan itu merupakan bagian dari studi ini. Laporan studi masih sedang digarap sehingga terlalu dini mengatakan bahwa Jepang berkomitmen mengucurkan pinjaman tersebut.

Penulis tidak ingin menilai siapa pun, hanya saja berita yang telah dipublikasi memiliki implikasi yang kurang baik, yakni akan terjadi ekspektasi dari berbagai stakeholder, terutama di Indonesia. Ekspektasi ini bisa memengaruhi objektivitas penilaian atas proyek yang akan dijalankan. Jika nilai proyek sesuai dengan nilai yang dilansir dalam berita, ini tidak masalah. Namun, jika sebaliknya, bisa-bisa proyek tidak terwujud sama sekali.

Salah satu bentuk over expectation tadi adalah terjadinya semacam ketidakjelasan di pihak Indonesia perihal siapa yang akan mengelola pinjaman senilai 400 juta dolar AS. Sebagian pihak ingin yang mengelolanya adalah sebuah BUMN yang selama ini concern dalam pembiayaan kapal, PT PANN.

Perusahaan tersebut memang memiliki pengalaman dalam bidang pembiayaan kapal (shipfinancing) karena BUMN yang didirikan 1974 ini memang misi utamanya adalah di bidang pembiayaan kapal. Namun, bisa jadi, ketika pinjaman itu betul-betul terealisasi, atas pertimbangan pihak Jepang bukan PT PANN yang akan mengelolanya. Di lain pihak perusahaan itu tentu saja sudah berharap agar dipilih.

*Visiting Senior Fellow, The National Maritime Institute (Namarin), Jakarta

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2011