Baik logika Sondang maupun logika elite politik sama-sama bersepakat bahwa memutuskan lebih baik dari tidak memutuskan, dan keputusan lebih baik daripada sekedar diskusi
Jakarta (ANTARA News) - Aksi menjemput ajal dengan melakukan aksi bakar diri mahasiswa Universitas Bung Karno, Sondang Hutagalung (22), di depan Istana Negara pada Rabu (7/12/2011) kini menuai sorotan publik, dari elite politik sampai aktivis kemanusiaan.

Sondang, elite dan aktivis sama-sama menyayangi hidup. Hidup yang diperjuangkan dan direvolusi terus menerus. Tiada hari tanpa berjuang di jalanan dengan ditingkahi deru kendaraan bermotor, kata Sondang bersama dengan sohib aktivis lainnya.

Dan elite politik berkata, tiada hari tanpa berkata-kata di atas mimbar demi menghidupi dua takdir yakni hidup dari politik atau hidup untuk politik.

Sayangnya, hidup dari politik menuai kritik sebagai onggokan manajemen kata-kata semata karena yang sedang dibicarakan soal mahasiswa yang meregang nyawa dengan membakar diri. Lebih baik berdiam diri bila berhadapan dengan segala hal "yang mistis", yang tidak dapat dibincangkan lebih lanjut, termasuk soal kematian.

Kematian melampaui segala batas bahasa, kata filsuf Ludwig Wittgenstein. Kematian seakan membatasi dunia kita karena kematian merupakan batas dunia dan karenanya tidak dapat dibicarakan. Ngomong soal kematian dengan menggunakan logika bahasa apalagi logika politik? Itu absurd ah!

Sondang menyambangi kematian. Aksi bakar diri Sondang disebut-sebut oleh sejumlah pihak sebagai tindakan anti kehidupan.

Argumennya, apakah aksi bakar diri menjadi jalan satu-satunya serentak jalan terakhir sebagai wujud perlawanan dari kekuasaan yang dinilai sudah demikian korup? Kenyataannya, Sondang melakoni aksi membakar diri sampai mati.

Aksi Sondang didekat-dekatkan dengan aksi perlawanan sipil. Diambillah model perjuangan dari negara sono, salah satunya pejuang hak-hak sipil Amerika Serikat yang dipimpin oleh Martin Luther King Jr. Menurut King, kejahatan rasial begitu meluas dan begitu meresap sampai ke tulang sum-sum mereka yang mengklaim sebagai satu-satunya pemilik kebenaran.

Implikasinya, sah bila menempuh cara ekstrem karena nyatanya negoisasi menemui jalan buntu. Kritiknya, King menghalalkan segala cara untuk meraup tujuan. King melawan jati diri perjuangannya yang lebih memihak kedamaian ketimbang memilih jalan kekerasan.

Logikanya, buat apa terikat dengan kewajiban mentaati hukum kehidupan bila sekelompok orang merasa tidak menerima hak-haknya secara memadai lagi. Silakan mencoret kontrak sosial kemudian menggantinya dengan ketidaktaatan masyarakat.

Mereka yang tidak menerima haknya, kok masih saja dituntut mentaati kesepakatan-kesepakatan. Inikah logika yang dihidupi Sondang?

Nah, bagaimana respons elite politik menghadapi logika Sondang. Elite berbela rasa dengan menyentuh logika kemanusiaan. "Presiden SBY sangat berduka dan berbagi kesedihan dengan orangtua dan saudara-saudaranya," kata Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa, Minggu.

"Kami yakin ada ribuan pesan yang ditinggalkan oleh kematian Sondang. Hendaknya kita mengambil apa yang menjadi bagian kita," ujarnya.

Sama dan sebangun, Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam berharap aksi bakar diri yang dilakukan Sondang tidak ditiru pemuda atau mahasiswa lainnya. Berangkat dari pengalaman menghidupi logika aktivis mahasiswa, Dipo berujar, "Pemuda berjuang harus berani hidup, bukan berani mati."

Optimisme kehidupan yang terus berkelanjutan kini berhadapan dengan logika kematian yang diusung Sondang. Ini bukan soal memilih mana lebih dulu, telur atau ayam, tapi ini menyentuh nyawa dan kematian yang tidak perlu dihidup-hidupkan dalam keterbatasan wacana bahasa.

Sementara, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memosisikan diri sebagai seorang ibu yang menyaksikan derita anak negeri. "Sondang telah pergi, tapi pesannya terasa keras menampar telinga kita. Kita tidak membutuhkan teguran keras lainnya, hanya untuk menyadari bahwa ada yang salah dengan pengelolaan bangsa ini," katanya.

Tidak ingin memungut remah-remah roti dari meja perjamuan kehidupan bangsa, Menteri Perhubungan EE Mangindaan berniat memberikan santunan kepada keluarga almarhum Sondang Hutagalung. "Masih saya pikirkan apa kira-kira (bentuk santunan itu)," katanya.

Ketika merespons logika Sondang, elite politik mengusung fatsun bahwa inilah saat membuat momen keputusan atau menciptakan dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Sebaliknya, Sondang membuat "keputusan" dengan menghabisi nyawa sendiri dengan membakar diri menuju ketiadaan.

Baik logika Sondang maupun logika elite politik sama-sama bersepakat bahwa memutuskan lebih baik dari tidak memutuskan, dan keputusan lebih baik daripada sekedar diskusi. Bedanya, Sondang memutuskan kematian, sementara elite memutuskan kehidupan.Untuk membasmi watak serigala manusia perlu ada pedang keputusan, bukan luapan kata-kata apalagi tebar citra diri.

Apakah Sondang layak disebut martir? Martir dalam tradisi kekristenan merujuk kepada korban yang mengalami penganiayaan, pengasingan dan penyiksaan karena membela iman kepercayaan. Martir membayar kontan iman kepercayaannya dengan kematian.

Logika Sondang menimba tiga serangkai demokrasi, yakni revolusi, logika dan momen beresiko. Di mata filsuf politik Alain Badiou, dengan revolusi, ada keinginan untuk terus melontarkan kritik demi perbaikan hidup.

Dengan logika, ada kepercayaan untuk menggunakan kekuatan argumentasi dan akal budi. Dengan momen resiko, ada keputusan untuk mendukung sebuah sudut pandang. Soalnya sekarang, logika Sondang adalah logika kematian.
(A024)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011