Port Moresby (ANTARA News) - Para pemimpin keagamaan bekerja bersama untuk mencapai kompromi bagi krisis politik yang mengguncang Papua New Guinea, sedangkan Ratu Elizabeth II tak ingin terseret dalam krisis di negeri Persemakmuran itu.

Pangkal masalahnya adalah di negeri kaya energi di Pasifik dan rumah bagi suku-suku yang berbicara dalam 800 bahasa itu kini ada dua kandidat yang bersaing menjadi perdana menteri.

Satunya gubernur jenderal, satunya lagi kepala polisi.

Beberapa jam setelah Gubernur Jenderal Michael Ogio bersumpah di hadapan pemerintahan PM veteran Sir  Michael Somare Rabu kemarin, lawan Somare yang sudah tersingkir Peter O'Neill menangguhkan Ogio dan menggantinya dengan orang baru yang kemudian disumpahnya.

Baik Somare maupun O'Neill tak mau mundur dari sikapnya di tengah apa yang kemudian disebut sebagai krisis konstitusi terburuk di PNG sejak memperoleh kemerdekaan pada 1975.

Ratu Inggris Elizabeth adalah kepala negara PNG, yang juga negara anggota Persemakmuran, sementara gubernur jenderal adalah wakil sang ratu di negeri Persemakmuran seperti PNG. 

Itu artinya sang ratu adalah salah seorang dari pihak berwenang yang bisa memecahkan kebuntuan politik di PNG.

"Perang sang ratu hanya muncul manakala mayoritas mutlak suara parlemen memberhentikan gubernur jenderal," kata Anne Twomey, Direktur unit reformasi konstitusi pada Sydney Law School.

Masalahnya keadaan menjadi rumit karena faktanya tidak ada yang benar-benar mengendalikan parlemen.

"Saya kira Istana (Buckingham) akan berusaha menahan diri sambil berharap pengadilan dan politik menyelesaikannya sebelum dia mesti membuat keputusan mengenai hal itu," katanya kepada stasiun TV ABC.

Kekisruhan politik ini membuat para birokrat PNG kepada siapa mereka bekerja.

Paul Barker dari Institute of National Affairs di Port Moresby, mengatakan gereja yang adalah kekuatan ampuh di PNG, dan tokoh-tokoh masyarakat tengah berupaya mencari kompromi demi mencegah meluasnya krisis.

"Mereka berupaya memaksa kedua pemimpin bertikai untuk duduk bersama dan menentukan kepentingan nasional," katanya kepada AFP.

"Mereka ingin kedua pemimpin bertikai untuk berekonsiliasi dan memerintah dalam semacam pemerintahan sementara yang akan mengantarkan negeri ini ke pemilu tahun depan."

Dia mengatakan bahwa dia telah diberi tahu faksi O'Neill bersedia untuk menjalin kompromi, namun kubu Somare kurang antusias menanggapinya.

Sejauh ini militer PNG tetap diam.  Kepala angkatan bersenjata Brigadir Jenderal Francis Agwi mengatakan bahwa tentara tak ingin menjadi alat politik.  (*)

Penerjemah: Jafar M Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011