Laporan yang ada bertentangan dengan kenyataan. Presiden sama sekali tak pernah menawarkan diri untuk mundur baik dalam rapat fraksi pendukung pada Selasa malam itu maupun dalam pertemuan lain.
Islamabad (ANTARA News/Xinhua-OANA) - Presiden Pakistan Asif Ali Zardari hingga kini tidak mempunyai rencana mundur dari pemerintahan, demikian kata juru bicara kepresidenan Pakistan.

Beberapa media setempat melaporkan Presiden Zardari menawarkan pengunduran pada saat mencuatnya krisis, setelah Mahkamah Agung, Selasa, memperingatkan akan mencopot perdana menteri karena gagal membuka kembali kasus korupsi presiden itu seperti yang diperintahkan pengadilan.

Media dalam negeri melaporkan presiden tersebut mengajukan pengunduran diri sepanjang rapat darurat dengan para ketua fraksi pendukung pemerintah di Istana Negara, Selasa Malam.

"Laporan itu tidak benar," sanggah Juru Bicara Presiden Pakistan, Farhatullah Babar, saat menanggapi sejumlah laporan media yang menyatakan Zardari menawarkan diri untuk mundur.

"Laporan yang ada bertentangan dengan kenyataan. Presiden sama sekali tak pernah menawarkan diri untuk mundur baik dalam rapat fraksi pendukung pada Selasa malam itu maupun dalam pertemuan lain," kata Farhatullah dalam pernyataannya.

Kabinet Federal dalam rapat sebelumnya menyampaikan kepercayaan pada kepemimpinan Presiden Zardari dan Perdana Menteri Sayid Yusuf Raza Gilani.

Beberapa jam setelah Mahkamah Agung mengeluarkan peringatan mengenai diskualifikasi terhadap presiden dan perdana menteri, kedua pejabat senior itu kemudian memimpin rapat darurat dengan para ketua fraksi pendukung pemerintah di Istana Negara, Selasa malam, kata juru bicara presiden.

Mahkamah Agung pada Selasa mengatakan akan melakukan tindakan melawan Perdana Menteri Yusuf Raza Gilani karena kegagalannya menerapkan perintah pengadilan untuk membuka kembali kasus korupsi Presiden Asif Ali Zardari.

Mahkamah Agung dua tahun lalu menghapus peraturan amnesti, yang menguntungkan Presiden Zardari dan ratusan politikus dan pejabat pemerintah.

Lembaga Rekonsiliasi Nasional (RNO) telah dibentuk presiden Pakistan sebelumnya, Pervez Musharaf, setelah kesepakatan dengan perdana menteri Benazir Bhutto, yang dibunuh pada 2007.

Mahkamah Agung, yang memiliki lima anggota, mengatakan dalam putusannya bahwa Gilani bukanlah "laki-laki terhormat" sebab dia tidak mengikuti sumpah konstitusinya. Putusan itu menyatakan perdana menteri tersebut menunjukkan sikap setia kepada partai politiknya dibandingkan konstitusi.

Pemerintah menolak untuk melakukan perintah pengadilan, dengan mengatakan presiden mempunyai kekebalan atas tuntutan konstitusi.

Selama wawancara pekan lalu, Zadari menjelaskan pemerintah tidak akan melakukan pendekatan dengan pemerintah Swiss selama dia menjabat.

Benturan antara PPP dan para hakim sehubungan dengan NRO terjadi saat Mahkamah Agung menekan pemerintah berkaitan dengan dugaan mengenai memo untuk meminta bantuan Amerika Serikat guna mengatasi ancaman kudeta militer di Pakistan tahun lalu. Meskipun pemerintah mengeluarkan keberatan, pengadilan telah membentuk komisi judisial untuk menyelidiki skandal "Memogate" itu.

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012