Jakarta (ANTARA News) - Politisi perempuan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Eva Kusuma Sundari, pola gerakan aktivis perempuan di Indonesia sekarang terjebak pada pola periode 1980-an yang antinegara dan antipartai sehingga tidak sesuai dengan kondisi kontemporer.

"Gerakan masyarakat sipil perempuan di Indonesia yang cenderung anti berhubungan dan berinteraksi secara langsung untuk membentuk jaringan dengan partai dan lembaga pemerintahan adalah konyol," kata Eva dalam lokakarya bertema "Mendorong Peran Anggota Legislatif Perempuan dalam Penyusunan Program Legislasi Nasional dan Anggaran 2012 yang Adil Gender" di Jakarta, Rabu.

Eva mengatakan bahwa dalam era konsolidasi demokrasi seperti sekarang, yang dibutuhkan adalah aktivis yang mampu membangun koalisi dengan legislator dan pejabat publik pembuat kebijakan.

"Setiap gerakan perempuan harus membuat peta politik untuk membentuk koalisi konspirasi, bahkan kolusi dalam arti bagus dengan anggota dewan atau dengan pejabat publik," kata Eva dalam acara yang digelar oleh Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) ini

Selain Eva yang juga merupakan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, hadir sebagai pembicara dalam lokakarya ini anggota DPR perempuan dari Golkar Tetty Kadi dan legislator wanita dari Partai Demokrat Timo Pangerang.

"Saya berharap bahwa gerakan masyarakat sipil perempuan di Indonesia adalah gerakan politik aspirasi, bukan representasi, sehingga apa yang mereka lakukan membawa perubahan positif bagi nasib kaum wanita Indonesia," kata Eva.

Politik aspirasi yang dimaksud oleh Eva adalah politik pada level subtansial yang melibatkan pembangunan hubungan dengan pejabat publik tingkat tinggi sehingga gerakan ini mampu mempengaruhi proses pembuatan kebijakan.

"Kecenderungan umum perilaku aktor gerakan perempuan, termasuk KPI, adalah tidak mau melakukan lobi informal. Mereka hanya mau menunggu proses pembuatan kebijakan sampai pada level hilir, bukan hulu. Hal ini menyulitkan kami sebagai legislator untuk memperjuangkan aspirasi," kata dia.

Eva kemudian menambahkan bahwa kemampuan diplomasi menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki aktivis perempuan untuk memaksakan perubahan dari dalam dan juga melakukan fungsi kontrol.

"Ketrampilan berpolitik teman-teman gerakan sangat kurang. Mereka harus melatih lagi intuisi politiknya," kata dia.
(T.G005/S023)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012