Jakarta (ANTARA News) - Sejarawan JJ Rizal menilai warga keturunan Tionghoa yang masih bersikap eksklusif di masa kini sebagai kelompok yang masuk dalam jebakan sejarah kolonialisme.

"Eksklusivitas orang Tionghoa itu dibuat oleh pemerintah kolonial, kalau saat ini masih ada orang Tionghoa yang tetap bersikap eksklusif, maka artinya mereka masuk dalam jebakan sejarah," kata JJ Rizal, di Jakarta, Sabtu, seusai acara talkshow dengan salah satu radio swasta dengan topik "Imlek dan Peran Tionghoa Kini".

Menurut dia, pada era kolonialisme warga keturunan Tionghoa dimanfaatkan oleh para penjajah Belanda sebagai perantara dengan warga pribumi. Hal itu, lanjut dia, membuat warga Tionghoa menjadi mesin ekonomi Batavia saat itu dan muncul sebutan "hantu uang" untuk mereka.

Kemudian saat perekonomian etnis Tionghoa mulai meluas dan berkembang, menurut dia, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap etnis Tionghoa pada tahun 1740.

"Mitos ini kemudian dilembagakan di zaman Orde Baru," katanya. Hal itu, lanjut dia, membuat warga keturunan Tionghoa takut atau tidak tertarik untuk bergerak di bidang lain, misal politik atau menjadi pegawai pemerintah.

Ia menilai, orientasi menjadikan warga keturunan Tionghoa menjadi pedagang sangat berbahaya karena akan menimbulkan prasangka-prasangka. Oleh karena itu, ia mendorong untuk semua pihak bersikap makin terbuka satu sama lain dan bergaul tanpa batas-batas keetnisan.

Dalam acara bincang-bincang itu JJ Rizal mengutip sejumlah pemikiran Leo Suryadinata untuk menjelaskan peran Tionghoa di masa kini, termasuk pertanyaan tentang kewarganegaraan dan nasionalisme.

Sementara itu, Ketua Yayasan Solidaritas Nusa Bangsa, Esther Yusuf, menilai bahwa warga Tionghoa cenderung tidak berpolitik karena trauma masa lalu yang belum hilang.

"Memang pelajaran di masa lalu masih jadi peringatan keras. Banyak orang yang melarang anak-anaknya untuk berpolitik," katanya. Ia juga mengutip kesaksian sejumlah warga keturunan Tionghoa pada peristiwa 1998 yang gagal menjangkau aparat keamanan untuk melindungi mereka.

Namun, ia menilai, seluruh etnis tidak hanya Tionghoa hendaknya mulai peduli dengan berbagai kebijakan atau peraturan yang ada di Indonesia karena hal itu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Hermawi F. Taslim, yang mewakili Komunitas Glodok, dalam acara bincang-bincang itu menilai bahwa berdagang menjadi pilihan kebanyakan warga Tionghoa karena tidak memiliki banyak aturan.

"Karena itu tidak ada pilihan lain. Berdagang kan tidak ada aturannya," katanya.

Mantan Duta Besar RI untuk China, Mayjen (Purn) Sudrajat, yang juga hadir dalam kesempatan itu menyampaikan pandangan yang senada dengan JJ Rizal.

Ia meyakini jika peristiwa 1998 tidak akan terulang, namun juga meminta agar etnis minoritas, tidak hanya etnis Tionghoa, untuk tidak bersikap eksklusif.

"Sikap eksklusif hanya akan merangsang orang marah," katanya. Ia menilai jika tidak ingin diperlakukan diskriminatif maka hendaknya juga jangan bersikap diskriminatif.

Pada awal pekan mendatang, warga Tionghoa akan merayakan Tahun Baru Imlek yang biasanya diikuti dengan berbagai pagelaran budaya, mulai dari pertunjukan Barongsai hingga perayaan di klenteng. Sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, Tahun Baru China menjadi salah satu hari libur nasional.
(T.G003/Z002)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2012