apa yang telah dilakukan penyidik Polri itu merupakan tindakan melanggar peraturan Kapolri no.12 tahun 2009 tentang pengendalian perkara pidana dilingkungan polri yang merugikan kliennya.
Jakarta (ANTARA News) - Tim pengacara terdakwa kasus tewasnya politisi Irzen Okta melaporkan penyidik ke Propam Polda Metro Jaya karena dinilai melakukan pelanggaran dari menghilangkan barang bukti hingga pemeriksaan terhadap para saksi, yang menjadi terdakwa, tanpa didampingi pengacara.

Anggota tim pengacara terdakwa kasus Irzen Okta, Sonny Martakusuma, dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis, menilai apa yang telah dilakukan penyidik Polri itu merupakan tindakan melanggar peraturan Kapolri no.12 tahun 2009 tentang pengendalian perkara pidana dilingkungan polri yang merugikan kliennya.

Dalam laporan yang diterima oleh Kompol Triyono itu, diungkapkan bahwa pemeriksaan terhadap para saksi yang kini menjadi terdakwa tanpa didampingi pengacara adalah ilegal, karena pada saat itu masing-masing saksi adalah saksi bagi terdakwa yang lain, katanya.

Sony Martakusuma menambahkan, gorden yang disebut oleh saksi Tubagus rekan Irzen Okta dipenuhi bercak darah Irzen Okta seharusnya dijadikan barang bukti, namun gorden tersebut tidak pernah diperlihatkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di persidangan.

Penghilangan barang bukti tersebut juga menjadi salah satu bahan yang dilaporkan, ujarnya.

Sonny menduga, gorden tersebut sengaja tidak dihadirkan dalam persidangan oleh JPU karena bisa melemahkan tuduhan terhadap kliennya yang dianggap telah melakukan penganiayaan fisik terhadap korban.

Hal ini merupakan bagian dari rekayasa kasus tersebut supaya terkesan ada penganiayaan, padahal hal itu tidak terbukti sama sekali, ucap Sonny.

Selain gorden, lanjut dia, tim pengacara juga melaporkan penyidik karena diduga telah memalsukan laporan pidana ysng dibuat oleh isteri mendiang Irzen Okta.

Hal itu mengacu kepada pengakuan isteri Irzen Okta, Essi Ronaldi, yang dalam persidangan dan dibawah sumpah menyatakan tidak pernah membuat laporan di kantor polisi pada 29 Maret 2009, padahal penyidik menyatakan bahwa tanggal tersebutlah laporan dibuat, katanya.

Sementara itu, pengacara terdakwa, Muhammad Luthfie Hakim, menyatakan bahwa pencabutan BAP oleh beberapa saksi itu bukti bahwa pihak penyidik ikut andil dalam merekayasa kasus ini.

Dugaan rekayasa perkara itu mencuat selama sidang berlangsung, tegasnya.

Rekayasa pertama, menurut dia, adalah keterangan saksi Tubagus Suryo Kusumo yang merupakan rekan Irzen pertama kali dihubungi oleh terdakwa saat Irzen kehilangan kesadaran.

Tubagus mengungkapkan ada bercak darah di gorden ruangan tempat Irzen tidak sadarkan diri. Padahal dalam hasil forensik tidak menunjukkan adanya bercak darah manusia, kata Lutfie.

Rekayasa itu juga diduga dilakukan oleh penyidik dengan menghilangkan sejumlah barang bukti penting. seperti baju Irzen. Gorden yang diduga ada bercak darah. dan juga upaya yang dilakukan penyidik untuk menggiring opini publik, kata Lutfie.

Upaya menggiring opini publik itu merupakan rekayasa dalam bentuk lain, tambahnnya.

Misalnya hasil forensik dr Mun`im Idris yang hasil otopsi itu telah menyimpang, dan sudah dilaporkan ke polisi serta ke Majelis Kehormatan Dewan Kedokteran Indonesia, ujarnya.

Irzen Oktas selaku nasabah kartu kredit Citibank meninggal di kantor Citibank saat berunding dengan beberapa penagih utang (debt collector), pada 29 Maret 2011.

Lima penagih utang kemudian ditetapkan sebagai terdakwa. Mereka itu adalah Arief Lukman, Hendry Waslinton, Donald Harris Bakar, Boy Yanto Tambunan, dan Humisar Silalahi.

Kelimanya didakwa dengan dakwaan kesatu primair melanggar Pasal 333 ayat (3) jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, subsidair Pasal 333 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Atau dakwaan kedua melanggar Pasal 351 ayat (3) jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Atau dakwaan ketiga melanggar Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP.

(A011/O001)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012