Mojokerto, (ANTARA News) - Masyarakat Desa Hutan (MDH) di Mojokerto bekerjasama dengan Perum Perhutani telah membudidayakan "ashitaba" atau seledri Jepang (Angelica sinensis Tks) dan mengekspor komoditi tersebut ke negeri Sakura. Menteri Kehutanan MS Kaban saat melakukan temu wicara dengan MDH se-Kabupaten Mojokerto, Jumat (5/5), menyambut positif budidaya dan ekspor ashitaba ke Jepang tersebut karena bisa memberikan pendapatan masyarakat dan hutan pun terjaga kelestariannya. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Pringgondani di Mojokerto kini mengembangkan tanaman Ashitaba di petak 51c, 55a, 61c di Resot Pemangkuan Hutan (RPH) Kemloko, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) dalam wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pasuruan seluas 16 hektare. Budidaya dengan sistem agroforestry tersebut ditanam di ketinggian sekitar 900 meter diatas permukaan laut serta bebas dari pupuk kimia. Budidaya ashitaba hanya menggunakan pupuk organik. Tanaman Ashitaba selama ini ditanam dibawah tegakan tanaman pinus. Secara ekologis tanaman tersebut ada simbiosis mutualisme dengan tanaman pinus. Pemupukan tanaman ashitaba juga dapat menumbuhsuburkan tanaman pinus. Dengan penanaman atau budidaya Ashitaba itu, maka manfaat sumber daya hutan secara ekologis, sosial dan ekonomis bisa tercapai. Petugas Pelaksana Program Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat (PHBM) KPH Pasuruan, Muchlisin SHut, menjelaskan, hasil budidaya Ashitaba tersebut kemudian diekspor ke Jepang oleh PT Ambico Pasuruan. Untuk budidaya ashitaba seluas satu hektare dibutuhkan biaya pengolahan lahan dan lainnya berkisar Rp6 juta hingga Rp7 juta. Sedangkan hasil tanaman yang bisa dipanen sebanyak 30-35 ton daun basah serta 10 ton akar per tahun. Harga ashitaba Rp900 per kilogram daun basah dan Rp700 per kilogram akar basah. Manfaat Ashitaba, menurut dia, dapat menurunkan darah tinggi (hipertensi), kolesterol serta penyakit-penyakit lain. Cara mengkonsumsi ashitaba dapat dimasak dengan air dengan suhu sekitar 60 derajat Celcius, setelah itu disaring dan airnya diminum secara teratur dua kali sehari atau dapat dikonsumsi dengan cara digoreng (dibuat "rempeyek") dan disajikan bersama makanan lainnya. (*)

Copyright © ANTARA 2006