Jakarta (ANTARA News) - Penilaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang integritas dan inisiatif antikorupsi pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan adalah wujud keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi, demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, FX Sugiyanto.

"Salah satu institusi yang berhasil melakukan reformasi birokrasi itu Ditjen Pajak, meskipun masih ada (oknum) yang mencuri-curi untuk mendapatkan suap," kata Sugiyanto. Namun, Sugiyanto menjelaskan survei yang diselenggarakan KPK belum menyentuh potensi kerugian negara dari penerimaan pajak yang sempat diselewengkan sejumlah oknum Ditjen Pajak.

"Modus operasinya bukan mengambil uang negara atau korupsi tapi kesepakatan tersembunyi antara aparat pajak dengan wajib pajak dalam penilaian potensi pajak," kata Sugiyanto.

Pada 2011, Ditjen Pajak mendapatkan penilaian 7,65 dalam survei integritas oleh KPK.  Nilai yang diperoleh itu berada di atas nilai rata-rata keseluruhan instansi sebesar 6,4 maupun dari standar KPK sebesar 6,0. Sebelumnya, pada 2010, Ditjen Pajak juga mendapatkan penilaian inisiatif antikorupsi sebesar 9,73 dan promsi antikorupsi sebesar 9,82 dari lembaga yang dipimpin Abraham Samad itu.

Sugiyanto mengakui sistem pengungkap kasus (whistleblowing system) yang diterapkan Ditjen Pajak telah tepat untuk mengawasi peluang terjadinya penggelapan pajak mengingat pegawai Kementerian Keuangan, termasuk Ditjen Pajak, telah memperoleh remunerasi.

"Jika dilihat, itu (kasus oknum pajak) menjadi syok terapi luar biasa atau peringatan keras bagi Ditjen Pajak. Tapi menurut saya tidak semua pegawai pajak seperti itu (oknum penyeleweng pajak)," katanya.

Mengenai  sumber penerimaan pajak dan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio), Sugiyanto mengatakan Ditjen Pajak perlu memperluas cakupan penerimaan atau ekstensifikasi pajak dari wajib pajak individu.

"Pertumbuhan ekonomi berakibat pada dua hal, intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak. Orang-orang yang sebelumnya bukan wajib pajak setelah penghasilan mereka berada di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) akan menjadi wajib pajak," kata profesor ilmu ekonomi Studi Pembangunan itu.

Meskipun demikian, lanjut Sugiyanto, Ditjen Pajak menghadapi tantangan dalam menggali potensi penerimaan pajak individu atau perorangan karena penilaian pajak perorangan dilakukan sendiri oleh wajib pajak.

"(Hal) yang mungkin terjadi adalah wajib pajak tidak melaporkan semua penghasilannya. Sejauh mana kejujuran wajib pajak melaporkan kekayaannya menjadi tantangan bagi Ditjen Pajak," kata Sugiyanto.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany sendiri mengatakan pada masa mendatang penerimaan pajak tidak akan bergantung pada perusahaan besar karena cenderung terpengaruh ekonomi eksternal.

"Karena perusahaan kecil seperti UKM selama ini bayar pajaknya kecil, bahkan jutaan yang belum bayar pajak. Jadi kita memang sangat disayangkan karena penerimaan pajak kita sangat bergantung pada perusahaan besar," kata Fuad dalam rapat pembahasan RAPBN 2013 dengan Komisi XI DPR RI, awal September lalu.

Narasumber: FX Sugiyanto, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2012