Beberapa waktu lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan pernyataan mengejutkan pada Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Cirebon.

Saat itu Ketua PBNU KH Said Aqil Siraj menyatakan ancaman boikot membayar pajak. Alasannya, selama ini uang pajak telah banyak dikorupsi sehingga membayar pajak pun menjadi haram.

Namun Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Zulkieflimansyah menilai pesan di balik pernyataan NU itu mestinya dicermati lebih dalam lagi.

"Setelah dicek, sebenarnya tidak begitu. Bahkan menurut saya, itu ekspresi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap penyalahgunaan uang negara di mana-mana," kata Zulkieflimansyah beberapa hari lalu.

Dia menyebut uang negara memang bukan berasal dari langit, melainkan dari pengorbanan masyarakat. "Dan ketika itu tidak digunakan dengan baik, tentu ada ekspresi kekecewaan sehingga mengatakan boikot pajak itu sebagai orang yang kecewa, ya bisa-bisa saja," katanya.

Namun pada praktiknya, Zulkieflimansyah menilai ekspresi ketidakpuasaan itu semestinya tidak diwujudkan secara emosional seperti itu. "Pajak di mana-mana adalah instrumen pembangunan yang kita dibutuhkan. Kalau nggak ada  pajak, mana bisa kita membangun," kata dia.

Dia juga berpandangan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tidak perlu berlebihan menanggapi ancaman tersebut, sebaliknya dia mendesak institusi ini melakukan langkah-langkah positif untuk membuktikan bahwa lembaga ini tidak seperti yang disangkakan sebagian kalangan.

Di antara langkah itu adalah mengenakan sanksi tegas kepada Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak. Dan langkah ini sendiri tengah gencar dikampanyekan oleh Ditjen Pajak.

"Itu suatu hal yang bagus dan kita minta DPR juga begitu," kata Zulkieflimansyah.

Dia menilai ketegasan dari Ditjen Pajak harus beresonansi dengan ketegasan serupa dari lembaga-lembaga formal lainnya, termasuk DPR di mana dia menjadi anggotanya.

Tentu saja, sebagai pembuat legislasi, DPR diharapkan menciptakan aturan atau bahkan memperkuat aturan yang sudah ada untuk memaksa para pengemplang pajak untuk tidak lagi berbuat curang.

Zulkieflimansyah merasa bahwa Ditjen Pajak telah berlaku sebagaimana amanat yang diembankan UU kepadanya sebagai pengumpul pajak, sementara Ditjen Pajak sendiri berpandangan bahwa ancaman boikot membayar pajak adalah salah alamat karena korupsi pajak seringkali terjadi ketika uang pajak didistribusikan yang adalah bukan lagi domain kerja Ditjen Pajak.

Mungkin sebenarnya ancaman boikot pajak dari PBNU itu adalah pesan tidak langsung PBNU kepada sistem penyelanggara negara, baik eksekutif maupun legislatif, untuk mendisiplinkan sistem alokasi pajak masyarakat yang selama ini dikumpulkan Ditjen Pajak, sehingga uang pajak masyarakat yang terkumpul itu tidak bocor oleh perilaku korup sejumlah orang yang diamanati untuk mendistribusikannya kepada masyarakat dan pembangunan nasional.

Logika seperti ini bersesuaian dengan pemahaman Zulkieflimansyah yang juga menilai bahwa Ditjen Pajak memang tak begitu saja bisa dipersalahkan karena alasan korupsi pajak yang menjadi faktor di balik keluarnya ancaman boikot pajak dari PBNU tersebut.

Dia juga menilai Dirjen Pajak tidak bisa sendirian menanggung akibat tindak korupsi pajak. "Di mana-mana tentu yang paling atas itu mesti bertanggungjawab, tapi kan tidak boleh kaku juga. Kalau logikanya seperti itu, berapa banyak orang yang mundur," ujarnya.

Dia menekankan, jika memang terjadi kesalahan pada pengelolaan pajak oleh Ditjen Pajak, maka pimpinan lembaga ini memang harus bertanggungjawab, terutama secara moral. "Tapi kalau didesak mundur tidak bisa begitu," kata Zulkieflimansyah lagi.

Uang hasil pemungutan pajak memang sangat dibutuhkan oleh Negara guna membiayai pembangunan nasional. 

Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai boikot pajak adalah kontraprestasi atas usaha bersama dalam membangun bangsa dengan uang pajak itu.

Zulkieflimansyah menolak pandangan ini, tapi dia juga menilai ancaman PBNU itu tidaklah seserius itu. "Nggak lah, nggak ada yang luar biasa (dari ancaman boikot pajak tersebut)," katanya.

Dia berpandangan bahwa ancaman boikot membayar pajak tidak akan begitu mengganggu kerja Ditjen Pajak dan psikologi masyarakat. "Tidak semua warga NU menelan semua informasi ini (ancaman boikot pajak)," katanya lagi. 

Zulkieflimansyah justru mengajak Ditjen Pajak untuk berkonsentrasi pada upaya memenuhi target penerimaan pajak pada tahun depan yang dinilainya bisa tercapai.

Dia meminta institusi pengumpul pajak ini untuk menjalankan pola komunikasi yang baik dengan masyarakat sehingga apa yang dilakukan mereka ditanggapi positif dan diapresiasi masyarakat.

"Mudah-mudahan Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak bisa bekerja lebih baik lagi," kata Zulkieflimansyah.

Narasumber: Zulkieflimansyah, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Jakarta

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2012