"Demi menjaganya kalau perlu orang boleh hancur-hancuran."
Jakarta (ANTARA News) - Makassar suatu sore, tahun 1960-an. Seorang ayah memperlihatkan headline sebuah surat kabar, “Presiden Soekarno Jatuh Sakit” kepada anak-anaknya yang berkumpul hari itu.

Keluarga ini memang rutin setiap sore bercengkerama dengan seluruh anggota keluarga, di beranda rumah. Melepas lelah sepulang kerja, sepulang anak-anak sekolah, sambil menyimak laporan aktivitas masing-masing sepanjang hari itu.

"Apa arti jatuh sakit?" tanya sang ayah pada salah satu anak sambil menujuk headline koran tadi. Anak yang ditanya menjawab cepat. "Artinya, Presiden Soekarno sakit akibat terjatuh. Jadi, jatuh dulu baru sakit."

Tawa pun meledak dalam forum sore itu. Anak yang menjawab tadi itu bernama Ilham Bintang, saat baru belajar membaca, tepatnya mengeja. Sang ayah, adalah Haji La Bintang, yang Minggu (25/11) malam pukul 20.40 WIB telah dipanggil menghadap Illahi Robbi dalam usia 83 tahun.

Haji La Bintang adalah seorang tokoh Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Semasa hidupnya, masyarakat Makassar mengenalnya sebagai pedagang, penyair dan wartawan.

Almarhum La Bintang meninggalkan tujuh putra-putri, 20 cucu dan 15 cicit. Istrinya, Hajjah Indolumpulle, telah berpulang lima tahun lalu, tepatnya 20 September 2007, atau tidak lama setelah keduanya memperingati 62 tahun usia perkawinan.

"Forum sore itu menjadi salah satu kenangan terindah hidup saya dengan almarhum ayah," ujar Ilham Bintang, salah seorang putranya yang mewarisi bakat bisnis dan jurnalis.

Ia mengemukakan. "Sejak itu setiap minggu ayah rutin memberi hadiah berbagai buku bacaan. Di masa sekolah SMA pun, di tengah kesibukannya, beliau menemani saya mendaftar dan mengawal pada hari pertama masuk sekolah. Ada beberapa kali mengunjungi sekolah, menerima rapor, atau sekadar memenuhi undangan berbincang dengan kepala sekolah dan guru."

La Bintang sudah lebih sepuluh tahun ini menderita stroke. Separuh badannya lumpuh. Tetapi, hal yang menakjubkan hingga ajal menjemput, memori atau daya ingatnya luar biasa terjaga. Terkadang, ia memang menyulitkan keluarga karena tidak mudah membujuknya ke dokter atau ke rumah sakit.

Ia seperti bisa mengukur kondisi kesehatannya untuk menentukan kapan harus ditangani dokter. Tapi, dalam ingatan Ilham, sang ayah bisa jadi menduga, dan masih melekat dalam ingatannya, bahwa trauma ketika terkena stroke justru setelah ditangani dokter di rumah sakit.

Pria kelahiran Sengkang, Sulsel, pada 30 Juni 1929 itu putra dari Haji Daeng Palureng, seorang pedagang antarpulau. La Bintang adalah laki-laki pertama, sehingga kehadirannya menjadi istimewa dan sangat dinanti keluarga Daeng Palureng

Seluruh kakaknya perempuan. Ia amat dimanja keluarga. Sekolahnya pun di sekolah bagus, Pergoeroean Oemoem di Pare-Pare. Itu sekolah pribumi favorit yang dikenal sebagai saingan sekolah Belanda.

Masih dalam usia yang relatif muda saat La Bintang tumbuh dan berkembang menjadi pengusaha sukses di era 1960-an. Salah satu perusahaannya pernah menjadi agen tunggal Toyota pertama di Indonesia Timur. Selain sebagai pengusaha, ia juga dikenal sebagai wartawan dan sastrawan. Suatu perpaduan unik di kala itu.

Ia termasuk penulis produktif. Puisi dan cerpen-cerpennya sering menghiasi surat kabar di era itu. Ceritanya kuat, bahasanya indah mengalir. "Saya juga belajar menulis dari beliau," demikian kenangan Ilham.

Saat sakit, ia masih sempat menulis satu buku "Nyanyikan Lagu Indonesia Raya" yang terbit pada 2001. Roman perjuangan itu mengambil setting di Jepang. Tampaknya, buku itu tercetus saat dirinya berkunjung ke Jepang pada 1970an. Ia meminta Ilham menulis pengantar.

Bisa jadi, La Bintang memutuskan hal itu lantaran Ilham lah yang sang mengerjakan bukunya itu. Sang Bintang senior agaknya menginginkan para cucu tak hanya mengenal sebatas kakek secara biologis. Keunikan hidupnya yang memadu antara jurnalisme dan usaha dagang, sayang jika tak dicatat dan diketahui cucu-cucunya.

"Semangat La Bintang yang tak kunjung padam untuk menerbitkan buku itu menarik untuk diteladani," ujar Ilham, yang juga pendiri kelompok bisnis media Cek&Ricek (C&R).

Semangat itu mengekspresikan seutuhnya karakternya. Bayangkan, finishing buku dikerjakan saat La Bintang sakit. "Karakter keras untuk menyelesaikan pekerjaan atau mengambil tanggung jawab terhadap suatu pilihan yang telah dijatuhkan, memang menjadi ajarannya," kata Ilham.

Ia menimpali, "Kemuliaan seseorang hanya dapat diukur dari kemampuannya mengambil tanggung jawab. Ini satu ajarannya."

Di masa kanak-kanak,  bagi putra-putrinya tentu berat untuk memahami apa yang dimaksud sang ayah mengenai nilai tanggung jawab. Kelak, menurut Ilham, ternyata hal itulah modal utama kemajuan baginya bersama para saudara.

Hal itu juga kemudian, diakui Ilham, "Yang amat keras kami ajarkan kepada anak-anak, yakni tanggung jawab. Tentang kejujuran, kebenaran, dan keadilan adalah nilai tertinggi, yang menurut ayah, demi menjaganya kalau perlu orang boleh hancur-hancuran."

Pungaji Bintang, begitu anggota keluarga kerap memanggilnya, menghembuskan napas terakhir secara tenang pada Minggu, 25 November 2012 pada pukul 20.40 WIB. Dua jam sebelum wafat, ia sudah tampak mengisyaratkan kepergian untuk selamanya.

Hal tu disampaikan kepada anak bungsunya, Faidal Yuri, yang kemudian segera membimbingnya mengucapkan asma Allah SWT. Saat itu Faidal ditemani kakak perempuan, Farida, Fadlan, serta tiga menantu: Eryani, Lailan Nazly  dan Hennizar.  La ilaha Illallah.... La ilaha Illallah, kalimat agung itu masih terdengar tegas dilafazkan berulang ulang oleh almarhum hingga menutup mata. Innalillahi Wainnaillaihi Rojiun.

Meskipun sudah lama menderita sakit, keluarganya tak menyangka La Bintang akan pergi secepat itu. Ilham pun berujar, "Saya dalam perjalanan ke rumah beliau, sekitar 15 menit lagi sampai tujuan, ketika menerima kabar duka ayahanda telah dijemput Sang Khalik."

Ia pun mengemukakan, "Saya menyesali diri tak ikut melepas beliau pergi. Tiga malam lalu, ketika datang menengok, saya mengira ayah segera pulih karena hanya terserang flu, seperti diagnosa dokter."

Padahal, Ilham mengemukakan, sempat menangkap isyarat dalam mimpi, dua malam sebelumnya. "Dalam mimpi itu, ditampakkan ayah pergi ke rumah sakit diantar ibu, mendahului jadwal yang kami rencanakan membawa beliau ke dokter spesialis pasien lansia."

Ia menimpali, "Saya berusaha mengejar ayah. Ya Allah, ternyata saya pun masih tidak bisa membaca wasyilah mimpi mengenai akhir hidup orang yang mengajari saya membaca."

Sebagai insan Illahi, Ilham pun merelakan kepergian sang ayahanda menghadap Yang Mahakuasa. "Selamat jalan Punaf atas segala kesalahan, atas segala hal yang membuat kecewa. Ya Allah, ampuni dosa-dosa ayahanda kami, berikanlah tempat yang lapang, nyaman, dan indah di sisi-Mu. Pertemukan ayah dan ibu kami di surga-Mu. Al Fatihah," ujarnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2012