... saya harap kepala staf baru TNI AU melakukan inovasi-inovasi baru yang dapat meningkatkan kemampuan TNI AU... dipahami sungguh-sungguh, tidak ada "jalan tol" atau "jalan pintas" menuju itu... "
Jakarta (ANTARA News) - Orang nomor satu di TNI AU baru saja diganti, dari Marsekal TNI Imam Sufaat kepada Marsekal Madya TNI IB Putu Dunia, di Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat. Dunia menjadi orang ke-19 sebagai pucuk pimpinan TNI AU sejak 1946.

Pergantian ini ditegaskan sebagai hal rutin dan wajar dalam roda organisasi manapun. Di balik pergantian itu, ada hal yang cukup baru: TNI AU akan segera mendapat banyak pesawat tempur, pesawat angkut, helikopter, dan arsenal-arsenal baru. Paling tidak, Sukhoi 27/30 Flankers Skuadron Udara 11 di Pangkalan Udara TNI AU Makassar akan lengkap, sebagaimana Skuadron Udara 21 dihidupkan lagi setelah non aktif selama bertahun-tahun seiring kehadiran EMB-314 Super Tucano dari Brazil.

Agak berlebihan jika membandingkan dengan masa kepemimpinan Laksamana Udara (almarhum) Omar Dhani memimpin TNI AU. Saat itu TNI AU banyak sekali mendapat pesawat terbang militer baru. Di Asia Tenggara, Indonesia negara pertama yang dipercaya boleh membeli C-130B Hercules dari Amerika Serikat, sebagaimana Tupolev Tu-16 Badger dari Uni Soviet. Intinya, kita akan memiliki banyak arsenal udara lagi.

Laiknya "bermain-main" dengan persenjataan canggih, mahal, dan sulit pengadaannya, maka ada sejumlah resiko ikutan yang harus dipahami secara simultan. Satu di antara sekian banyak itu adalah penguasaan prosedur penanganan (pada berbagai tingkatan organisasi dan langkah penanganan) dan peningkatan kemampuan manusia pengawaknya. 

Panglima TNI, Laksamana TNI Agus Suhartono, yang memimpin upacara serah terima jabatan dari Sufaat kepada Dunia itu berharap, marsekal madya TNI yang kini menjadi orang pertama di matra udara TNI itu mampu meningkatkan visi kekuatan pokok minimum hingga 2024. Maklum, perimbangan kekuatan di Asia Tenggara sangat jomplang, Singapura tetap di urutan teratas diikuti Malaysia dan kemudian Indonesia.

Hal ini membawa konsekuensi tidak mengenakkan bagi Indonesia, di mana kedaulatan bangsa dari aspek pertahanan fisik menjadi kurang sempurna. "Saya harap kepala staf baru TNI AU melakukan inovasi-inovasi baru yang dapat meningkatkan kemampuan TNI AU," kata Suhartono.

Bukan rahasia lagi bahwa membentengi wilayah Indonesia bukan pekerjaan enteng. Ada banyak sekali fakta tentang ini, di antaranya penerbangan gelap dan upaya penerobosan wilayah udara nasional, dimana "mata dan telinga" TNI AU harus semakin peka dan ligat menangkal.

Jika terlanjur masuk dan diketahui bisa mengancam keamanan nasional, harus juga mampu memusnahkan potensi ancaman itu. Di sinilah Suhartono menekankan juga tentang efektivitas dan efisiensi perwujudan strategi kemampuan kekuatan esensial minimal, yang harus jelas terpetakan langkah demi langkah. 

Satu langkah berani pemerintah adalah saat Fokker F-27 400M Friendship Skuadron Udara 2 yang jatuh menimpa kompleks perumahan anggota TNI AU di pangkalannya sendiri, Halim Perdanakusuma. Pemerintah langsung menghentikan operasionalisasi pesawat transport ringan tipe itu dan mempersilakan Airbus C-295 masuk panggung pilihan utama.

Pada beberapa masa pemerintahan sebelumnya, saban terjadi hal itu pernyataan pemerintah selalu ada dalam wilayah "abu-abu" padahal jika perang betul terjadi, kesiapan arsenal dan manusia pengawak adalah harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar. 

Mengingat pembelian semua keperluan matra udara TNI --sebagaimana yang lain juga-- memakai uang rakyat maka keterbukaan pemakaian anggaran bagi publik serta audit dari badan independen sangat pas untuk dikedepankan, yang bisa menjadi daftar lain inovasi kepemimpinan ini. Jika ingin "naik kelas" maka harus ada arena ujiannya, salah satunya melalui pengawasan yang bersih, jujur, dan bertanggung jawab. Toch dengan begitu, keselamatan material, personel, dan misi akan terkatrol habis-habisan. 

Bicara ruang udara kedaulatan nasional satu bangsa, berarti bicara payung hukum yang mengikat semua pihak yang berkepentingan dengan ruang udara itu; katakanlah pihak pemakai jalur penerbangan entah itu militer negara lain atau penerbangan sipil terjadual ataupun sewa tanpa jadual. Berkat letaknya yang persis di persimpangan dunia, maka kemampuan Indonesia mengelola dan menegakkan aturan main yang diterima internasional ini juga satu tantangan tersendiri.

Selama ini, RUU Pengawasan Udara Nasional didedikasikan untuk menyamakan persepsi dan urgensi atas penegakan kedaulatan nasional di ruang udara. Intinya, mengacu pada konsep Air Power dimana negara bersama masyarakat penerbangan dan umum bersama-sama mengerahkan semua potensi yang ada dan dimiliki untuk kepentingan nasional. Jadi jangan berjalan atau "terbang" sendiri-sendiri dalam kotak-kotak yang diciptakan sendiri.

Tentang ini, TNI mengidamkan ada satu revisi RUU Pengawasan Udara Nasional. "Revisi dan rancangan baru UU Pengawasan Udara Nasional diharapkan menjadi landasan hukum dalam optimalisasi industri kedirgantaraan yang meminimilisasi ketergantuangan alutsista dari luar negeri," kata Suhartono.

Konsep "negara hadir di udara" menjadi pilihan satu-satunya jika Indonesia tidak ingin menjadi obyek materialisasi wilayah udara nasional ataupun untuk kepentingan politis dan militer kekuatan mancanegara. Jelas ini bukan barang murah, ringan, dan cepat untuk mewujudkannya. 

Harap dipahami sungguh-sungguh, tidak ada "jalan tol" atau "jalan pintas" menuju itu karena dunia penerbangan (juga militer) sangat padat regulasi dan aturan pendukung lain.

Satu kali, satu flight F-15 SG Eagle dan F-16 Falcon Angkatan Udara Singapura mendarat di Pangkalan Udara TNI AU Ngurah Rai, Bali. Setelah disambut dan mengakurkan agenda kunjungan, beberapa teknisi angkatan udara negara berwilayah sangat sempit itu mengecek keadaan pesawat-pesawat tempurnya, di apron.

Beberapa orang bergerak mendorong meja kerja besi beroda berisi semua peralatan pengukur dan kunci-kunci yang diperlukan. Selain mereka, tidak boleh ada yang mendekati pesawat terbang tempur itu. Satu orang membawa buku manual yang tebal-tebal bersama daftar isian yang selalu dibubuhi tulisan tiap satu langkah dikerjakan, seraya mengucapkan prosedur yang dilalui oleh koleganya.

Sangat serius, tidak ngobrol-ngobrol. Yang menarik, walau panas matahari sangat terik, mereka tetap memakai perlengkapan wajib sesuai prosedur. Sarung tangan karet, kacamata bening pelindung mata, sepatu keselamatan, penutup telinga, dan.... tidak meletakkan apapun --baik alat kerja apalagi komponen pesawat terbang-- di aspal apron.

Apalagi membongkar suku cadang itu di aspal apron. Sungguh terlarang, patuhi prosedur! 

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2012