Jakarta (ANTARA News) - 12-12-12, menjelang pukul 12 malam, teman saya memasang foto profil dirinya bersanding dengan Reza Rahadian. Ketika saya komentari, dia berkata, bertemu ganteng of the year itu di peluncuran novel Pulang. Titik. 

Esoknya, entah mengapa, tiba-tiba saya menulis status di Facebook bahwa saya kangen pada karya Leila S. Chudori. Baru 2 hari kemudian saya mengetahui, Pulang adalah novel terbaru Leila S. Chudori!

Pada kesempatan pertama ke Gramedia saya tidak butuh waktu lama memilih buku. Pulang, tujuan saya. Jelas.

Dari halaman akhir novel ini saya mengetahui, 12-12-12 bukan sekedar tanggal cantik, tetapi juga tanggal istimewa. Leila S. Chudori tepat berusia 50 tahun. Selamat ulang tahun, mbak! Pasti luar biasa rasanya menghadiahi diri dengan sebuah karya utama di usia emas.

Membaca halaman-halaman pembuka, meletupkan banyak “Aha !” di benak saya.

Membangkitkan memori atas berbagai karya dia, dulu. Karena, saya merasa Leila sedang bercerita tentang dirinya, tentang masa lalu keluarganya. Settingnya pas sekali untuk mengambil kesimpulan itu.

Tokoh utama Pulang adalah wartawan sebuah Kantor Berita di dekat jalan Sabang. Walau disebut Nusantara, kita semua tahu di dekat jalan Sabang ada Kantor Berita Antara. Dan belum lama ini saya tahu, ayah beliau dulu wartawan Antara. Mengingat tema dan cara penyampaian cerita yang berani dan melampaui zamannya, dulu, saya kini merasa paham mengapa dia bisa menulis begitu.

Saya merasa bisa memahami situasi di Kantor Berita tersebut. Bahwa, di sekitar 1965, ada 3 kubu. Ada yang sangat merah, aktif pada diskusi dan kegiatan lembaga-lembaga yang berafiliasi dengan PKI. Ada juga yang sangat hijau, para pemuja pemikiran M. Natsir. Ada pula yang tanpa warna. Mungkin mereka kelompok terbanyak, karena pada dasarnya wartawan adalah orang yang paling bebas dan merdeka sedunia.

Tapi, sebelum lupa, saya harus melompat ke akhir cerita. Bahwa, ternyata kesimpulan-kesimpulan saya itu tidak sepenuhnya tepat. Leila menulis Pulang berdasarkan sebuah ide, kemudian melengkapi banyak hal dengan riset yang luar biasa. Enam tahun waktu yang beliau perlukan untuk mengumpulkan data, mengendapkan, mengolah, dan mewujudkannya menjadi sebuah novel yang memuat nilai sejarah, dan berkualitas sastra.

Dimas Suryo, sang tokoh utama, wartawan tak berwarna. Dia hanya kebetulan menghadiri konferensi wartawan merah di Santiago, menggantikan sahabatnya yang merah, demi sebuah alasan merah muda. Cinta. Pada saat dia disana, Jakarta menjadi merah darah. 30 September 1965.

Dan, tiba-tiba saja Dimas terjebak nasib. Tidak bisa kembali ke tanah air. Sempat ke Peking, Kuba, dan akhirnya terdampar di Paris. Menikah, mempunyai anak, merintis karir yang mungkin. Tetapi, puluhan tahun berlalu, tak sedikitpun memupus rindu untuk mencium wangi pembahagianya, yang hanya bisa diwakili cengkih dan kunyit, serta aroma tanah Karet.

Kisah Pulang, membuka wawasan kita tentang sisi lain lagi dari peristiwa 1965.  Tidak hanya tentang September 1965 di Indonesia saja, tetapi Leila dengan cerdas mengaitkan 3 peristiwa besar serupa. Di Perancis, Mei 1968, dan di Indonesia, Mei 1998.

Kebetulan, saya memang sedang tertarik mengamati proses kreatif para penulis, khususnya tentang bagaimana merajut kisah fiktif dari sebuah peristiwa nyata. Berawal dari Wanita-nya Paul Wellman, tentang Byzantium. Kemudian film Titanic. Terakhir, Life of Pi, berkaitan dengan tenggelamnya kapal barang Tsimtsum.

Betapa para penulis cerita ini pandai meyakinkan kita bahwa kisah itu benar adanya. Atau setidaknya, kita menjadi bertanya-tanya, mana bagian yang fiktif, mana yang nyata.

Leila bercerita dengan mengurut kisah tokoh per tokoh, tetapi secara waktu banyak berpindah-pindah. Maju mundur. Perlahan tapi pasti gambaran lengkapnya terkuak.

Cerita dirangkai benar-benar dari sudut kiri yang merah. Pun secara etika. Sangat tidak menyentuh jalur kanan yang hijau. Ini sangat mendukung cerita. Tetapi, juga bisa dijadikan pembenar bagi kubu hijau yang kuat bicara moral, bahwa itu salah satu efek yang dikhawatirkan jika arus merah dibiarkan.

Pesan terakhir Dimas kepada sang putri, sangat mendasar. Yaitu, agar Lintang Utara, nama putri tunggalnya, berani memilih. Setiap pilihan ada resiko. Tetapi, dengan memilih, kita yang mengarahkan nasib. Jangan sampai, nasib yang menggiring kita, hanya karena kita enggan menentukan pilihan.

Satu kata untuk Leila: Salut  !

*Peresensi adalah Editor paruh waktu, peminat buku, beralamat di annisdr@indo.net.id

Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2012