Jakarta (ANTARA News) - Sore itu, Rabu (7/6), suasana hotel Sovitel, di kawasan Seminyak, Bali, yang terletak di pinggir laut tidak seperti biasanya. Puluhan wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik dalam dan luar negeri, lokal dan nasional, bercampur baur memadati salah satu restoran hotel kelas atas tersebut. Saat itu akan ada konferensi pers mengenai "nasib" majalah Playboy Indonesia yang sempat membuat heboh sejumlah pejabat dan petinggi berbagai kalangan di Indonesia, ketika edisi pertamanya terbit beberapa bulan lalu. Para tokoh politik, anggota DPR, tokoh agama, tokoh ormas, para menteri, hingga masyarakat berbeda pendapat soal keberadaan majalah yang dianggap "mengumbar" aurat wanita tersebut. Ada yang pro tapi ada pula yang kontra mengenai penerbitan majalah Playboy Indonesia dengan alasan akan merusak akhlak dan moral bangsa Indonesia terutama para generasi mudanya. Untuk yang kontra bahkan tidak tanggung-tanggung saat mengekspresikan penolakannya. Sebuah ormas di Jakarta telah melakukan perbuatan anarkis yakni dengan menyerbu dan merusak kantor penerbitan majalah itu. Merasa tidak nyaman dan aman dalam melakukan kegiatan dan keredaksiannya, manajemen majalah tersebut memutuskan untuk menghentikan sementara penerbitannya. Kemudian manajemen majalah itu memindahkan kantor dan stafnya dari Jakarta ke Bali menyusul terjadinya serangan yang merusak kantor mereka pada 12 April 2006. "Kami memutuskan untuk pindah kantor dan segenap staf ke Bali sekaligus menerbitkan majalah edisi kedua dari Bali," kata Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia Erwin Arnada. Menurutnya, keamanan dan ketenangan para karyawan merupakan prioritas utama bagi manajemen. "Sebenarnya sejak dari awal kami sudah ingin berkantor di Bali tidak di Jakarta. Tapi karena masalah teknis baru sekarang bisa pindah ke Bali," kata Erwin. Di Bali, manajemen majalah Playboy Indonesia memilih berkantor di Jalan Tukad Citarum 999 XI Panjer 80225 yang terletak di kawasan elit Renon, Denpasar. Ia mengatakan, pihaknya juga sengaja tidak ingin menerbitkan edisi kedua Playboy Indoensia sebelum mendapatkan tempat agar mereka dapat bekerja dengan aman. "Setelah kami pindah ke Bali dan merasa aman maka pada saat kepindahan ini kami juga meluncurkan edisi kedua. Itu alasannya mengapa penerbitan edisi kedua terlambat," katanya. Untuk edisi kedua yang terbit Rabu (7/6), majalah yang dibandrol Rp39.000 per eksemplar untuk Jawa dan Rp40.000 per eksemplar untuk luar Jawa, memuat wawancara dengan terpidana hukuman mati Fabianus Tibo. Selain itu juga artikel tentang pengantin pesanan, ranjau darat di Kamboja, dan tradisi kuliner Bali. "Sementara untuk `cover girl` kita pilih Doriane seorang warganegara asing namun sudah lama menetap di Bali," katanya seraya menunjukkan majalah Playboy Indonesia edisi kedua. Playboy Indonesia, katanya, memiliki komitmen untuk mengetengahkan tulisan lokal dan isi editorial berkualitas, yang membedakan dari majalah gaya hidup pria lain yang sebelumnya telah beredar. Hindari telanjang Erwin menegaskan berkali-kali, satu hal yang perlu diketahui masyarakat Indonesia adalah dalam penampilannya Playboy Indonesia tidak akan memuat foto wanita telanjang. Dirinya juga menegaskan bahwa majalah yang diterbitkan bukanlah merupakan majalah murahan yang "norak dan kampungan" yang dengan vulgar menampakan daerah terlarang perempuan. "Kita juga sudah komit untuk tidak menampilkan foto wanita telanjang. Dan kita jamin isinya tetap mengedepankan kaidah jurnalistik yang sesuai dengan undang-undang di Indonesia dan kode etik," katanya menegaskan. Untuk menghindari kesan sebagai majalah murahan, Playboy Indonesia hanya akan dijual di tempat tertentu dan toko buku kelas atas di beberapa kota besar Indoensia. Target pembaca majalah ini adalah pria urban dewasa berusia 25 sampai 45 tahun. "Kita tidak mengizinkan majalah ini dijual di jalan atau perempatan jalan. Kalau ada yang menjual di jalan lalu terjadi apa-apa semisal penjualnya digebukin atau majalahnya dirampas, maka kita tidak bertanggungjawab," kata Erwin. Dalam edisi perdana, Playboy Indonesia dicetak sebanyak 100 ribu eksemplar dan terjual habis dalam waktu tiga hari. Agung Rai, salah seorang pengecer majalah di kawasan Jalan Sumatera, Denpasar, mengatakan, pengalamannya ketika menjual majalah Playboy Indonesia terbitan pertama memang bak menjual kacang goreng, laris manis. "Saya ingat, di Bali saat itu empat hari setelah hari pertama terbit di Jakarta belum beredar. Jadi baru ada di Bali pada hari kelima," kata Agung Rai. Menurutnya, pada hari pertama hingga hari keempat, puluhan masyarakat Bali banyak yang menanyakan dan ingin membeli majalah Playboy Indonesia namun terpaksa ditolak karena memang belum ada kiriman dari Jakarta. "Begitu hari kelima dan majalah itu datang, maka habis sudah dalam sekejap dibeli warga dengan hanya waktu sehari saja," katanya sambil geleng-geleng kepala. Dirinya yang saat itu mengaku hanya kebagian 55 eksemplar, menilai situasi seperti itu merupakan yang pertama kali dialami sepanjang 10 tahun menjadi penjual majalah. (*)

Oleh Oleh Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2006