Banjir di wilayah Jakarta yang terjadi sejak Selasa 15 Januari 2013 hingga sekarang telah menimbulkan korban jiwa, kerugian, dan kerusakan pada banyak sektor.

Hingga 23 Januari, korban jiwa tercatat 20 orang meninggal dunia yang disebabkan oleh banjir. Mereka meninggal karena hanyut ke sungai, dan faktor penyebab tidak langsung karena dampak sekunder, seperti kesetrum listrik, sakit karena lanjut usia, kekurangan oksigen karena menghirup gas karbon monoksida dari genset di ruangan tertutup dan sebagainya. Dari 20 orang yang meninggal sebagian besar justru meninggal di lokasi yang jauh dari sungai-sungai yang meluap.

Banjir ini juga mempengaruhi 100.274 KK atau 245.119 jiwa dan mengungsikan puluhan ribu orang. Kendati besar banjir sudah surut, namun masih terdapat 45.954 jiwa mengungsi.

Data terakhir BNPB juga mencatat daerah di sekitar Kecamatan Penjaringan yang meliputi empat kelurahan yaitu Kelurahan Pluit, Kelurahan Penjaringan, Kelurahan Penjagalan, dan Kelurahan Kapuk, masih terendam banjir dengan ketinggian bervariasi, ada beberapa titik yang mencapai 2 meter.

Banjir ini disebabkan meluapnya Waduk Pluit, meluapnya Kali Angke Hilir dan hujan yang mengguyur wilayah setempat. Selain itu, jebolnya tanggul Banjir Kanal Barat (BKB) di Jl. Latuharhary menyebabkan banjir menggenangi kawasan sebagian Jl. Sudirman, Bunderan HI, Jl Thamrin dan sekitarnya.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, mengatakan bahwa kerugian materil dan immateril akibat banjir yang menerjang Jakarta mencapai Rp1 triliun.

Ada pelajaran yang baik dari banjir Jakarta yang sudah berulang ulang tapi penyelesaiannya selalu tidak ke penyebab masalah. Faktor hujan memang tidak bisa dihindari karena saat ini memang musim hujan dan bulan Januari dan Februari memang sedang tinggi-tingginya sehingga yang harus diperhatikan bagaimana kondisi tata ruang dan masyarakatnya.

Berdasarkan hasil pengamatan, sedikitnya ada beberapa masalah utama terkait perilaku (buruk) masyarakat, yaitu terjadinya perubahan tata guna lahan di kawasan resapan air di kawasan Puncak G Pangrango, yang awalnya hutan diubah menjadi kawasan terbangun akibatnya air hujan tidak ada yg meresap, tapi semuanya mengalir menjadi air banjir yang akan mengerosi tanah dan mengendapkannya ke sungai sehingga sungai akan dangkal.

Masalah yang lain banyaknya penduduk bermukim di bantaran sungai akibatnya lebar sungai akan menyempit dan akan terus menyempit. Demikian pula dengan masalah perilaku buang sampah sembarangan termasuk membuang sampah ke Kali Ciliwung seperti sampah kasur, sofa, lemari, bantal, stereofoam, plastik, dan sebagainya.

Masalah yang juga pengaruhnya sangat besar adalah pesatnya pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk sehingga secara otamatis ikut menekan sungai, ikut mengurangi hutan kota, dan terjadi pula peningkatan pengambilan air tanah yang berlebihan dan tidak terkontrol yang mengakibatkan penurunan tanah di beberapa tempat di Jakarta.


Terowongan Sia-sia

Klop, hujan turun tidak ada yang meresap dan langsung mengalir sambil membawa tanah serta diendapkan di sepanjang sungai. Masyarakat bermukim di tepi sungai dan membuat dimensi sungai mengecil serta dipermukaannya ada sampah. Saat hujan besar datang, maka sungai tidak muat lagi sehingga sungai melebihi tanggul dan akan menjebolkan tanggul sehingga banjir akan menyebar kemana-mana.

Yang mengherankan, masyarakat yang berperilaku buruk itu terdiri dari para pejabat sampai masyarakat, dari birokrat sampai masyarakat, dari profesor sampai provokator, dari konglomerat sampai yang melarat, intinya semua level baik yang "educated" maupun yang "uneducated" sama-sama melakukan semuanya dengan sadar.

Yang tak kalah mengherankan lagi, banjir ini sudah berulang kali dan mereka melakukan hal yang sama. Pemerintah Jakarta hanya melakukan tindakan parsial, seperti misalnya melakukan pengerukan sungai dan pembersihan sampah.

Andai kawasan resapan hanya digunakan hutan saja maka erosi dan sedimentasi sungai tidak akan terjadi sehingga (proyek) pengerukan tidak perlu dilakukan. Andai dilakukan edukasi secara sistematik dan termonitor tentang pembuangan sampah maka (proyek) pembersihan sampah tidak perlu dilakukan.

Rencana Gubernur DKI Joko Widodo untuk membangun Terowongan Multiguna akan sia-sia kalau sedimentasi dan perilaku buang sampah masyarakat masih tetap terjadi, bisa jadi muncul masalah baru. Upaya revitalisasi kawasan resapan dan revitalisasi sungai tidak bisa dan tidak mau dilakukan karena semuanya terlibat dan pemerintahnya juga tidak mau melakukan itu.

Ini penting untuk pembelajaran bagi daerah aliran sungai (DAS) besar yg banyak di Indonesia, kalau mereka membiarkan kejadian yang sama seperti Jakarta maka mereka akan bermasalah dengan banjir terus menerus.

Misalnya, Provinsi Jawa Timur mempunyai banyak DAS besar yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan DAS Kali Ciliwung seperti DAS Bengawan Solo, DAS Brantas, DAS Sampean, dan sebagainya.

Bagian hulu (kawasan resapan air) DAS Bengawan Solo, Brantas dan Sampean sudah diubah jadi lahan persawahan dan permukiman, bahkan khusus di hulu Kali Brantas ada tambahan kawasan wisata dengan hotel-hotel dan vila.

Demikian pula di sepanjang sungai, bahkan di dalam tanggul sudah banyak permukiman dan untuk jalan masuk pun mereka menjebol tanggul. Sampai-sampai saat terjadi banjir di Bojonegoro, penduduk yang bermukim di dalam tanggul melarang penutupan pintu air. "Banjir siji banjir kabeh (satu banjir, semua banjir)," kata penduduk yang bermukim di dalam tanggul.

Ketegasan pemerintah dan semua pihak sangat dibutuhkan untuk membuat kebijakan yang bisa diterima semua pihak, sehingga masyarakat yang mengubah kawasan resapan air dan penduduk yang bermukim di bantaran sungai mau mengubah sikapnya. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah masyarakat tidak membuang sampah di sungai. Semuanya berpulang kepada: apakah mau belajar atau tidak. (*)

------------------------

*) Penulis adalah Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim LPPM ITS Surabaya. (ANT)

Oleh Dr. Amien Widodo *)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013