Harga kopi luwak ini di luar negeri lebih mahal lagi, bahkan bisa mencapai Rp800 ribu per gelas seperti yang disebutkan seorang wisatawan asal China yang berkunjung ke tempat saya ini beberapa hari lalu,"
Bandarlampung (ANTARA News) - Harga kopi luwak memang mahal atau jauh lebih tinggi dibandingkan harga kopi lainnya, sehingga banyak petani di wilayah Kabupaten Lampung Barat yang mengadu nasib dengan menggeluti usaha pembuatan kopi bubuk premium tersebut.

Harga kopi robusta dengan mutu terbaik di Bandarlampung hanya berkisar Rp40.000-- Rp50.000/kg, jauh lebih murah dibandingkan dengan harga kopi luwak yang mencapai Rp700.000/kg.

Di tempat pembuatan kopi luwak itu sendiri, yakni di Liwa yang berjarak sekitar 246 km sebelah barat Bandarlampung, telah mencapai Rp600.000/kg. Jika kopi luwak produksi Lampung ini dijual di Jakarta maka harganya bisa mencapai Rp1,5 juta/kg.

"Harga kopi luwak ini di luar negeri lebih mahal lagi, bahkan bisa mencapai Rp800 ribu per gelas seperti yang disebutkan seorang wisatawan asal China yang berkunjung ke tempat saya ini beberapa hari lalu," kata Gunawan, salah satu perajin usaha kopi luwak di Liwa, Lampung Barat.

Karena bisnis kopi luwak ini sangat menggiurkan, banyak petani setempat yang mencoba memproduksi kopi luwak. Mereka menangkap atau membeli musang dari pemburu yang menangkapnya di kawasan hutan, seperti di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Hewan itu kemudian dipelihara dengan memberikan makanan berupa buah kopi berwarna merah serta campuran vitamin lainnya.

"Setelah bubuk kopi luwak diproduksi, ternyata menjualnya sangat sulit, sedang persaingan makin tajam. Karena tidak ada dana, luwak menjadi tidak terurus sehingga akhirnya sakit atau mati. Kalau musang yang dipelihara mati, maka usaha pembuatan kopi bubuk pun gulung tikar," katanya.

Sudah ratusan pengusaha kecil bubuk kopi luwak di Kabupaten Lampung Barat yang gulung tikar, meski nilai jual komoditas itu sangat mahal dan pangsa pasar ekspornya tetap terbuka lebar.

Padahal, kopi luwak merupakan ikon Kabupaten Lampung Barat, karena beberapa objek wisata yang sebelumnya juga menjadi andalan daerah itu, kini sudah beralih menjadi milik Kabupaten Pesisir Barat. Misalnya, pantai Tanjung Setia yang menjadi primadona bagi peselancar dunia, kini menjadi wilayah Kabupaten Pesisir Barat.

Jika kopi luwak memang menjadi ikon Lampung Barat sebagaimana didengungkan, sudahkah pemerintah setempat membantu para pelaku usaha kecil kopi luwak untuk mengembangkan usaha mereka ?

Menurut Gunawan, mereka sampai sekarang masih belum mengerti tentang cara mengekspor bubuk kopi luwak, padahal permintaan dari luar negeri cukup tinggi.

Selain itu, mereka juga belum paham tentang cara menangkar dan mengembangbiakkan luwak, padahal binatang inilah yang menjadi komponen utama dalam sistem produksi kopi luwak.

"Sepengetahuan saya, dalam empat tahun terakhir kami belum pernah mendapatkan pencerahan dari instansi terkait tentang cara mengembangbiakkan luwak. Begitu juga tentang bagaimana cara mengekspornya," katanya.


Ancaman Populasi Luwak

Usaha kopi luwak memang tetap menggiurkan, namun nasib "luwak" atau musang tentu yang makin terancam, karena usaha kopi luwak sangat tergantung atas keberadaan hewan tersebut.

Dengan kata lain, jika tidak ada luwak maka tidak ada kopi luwak premium.

Melihat hal itu, Pemkab Lampung Barat tahun lalu sebenarnya sudah mengajak para pengusaha kopi luwak setempat untuk berperan aktif mencegah kepunahan hewan tersebut.

"Populasi luwak makin hari kian berkurang, kondisi ini memaksa pemerintah daerah untuk melakukan tindakan dengan membangun lokasi penangkaran luwak mulai 2012," kata Bupati Lampung Barat, Mukhlis Basri.

Dengan adanya penangkaran itu, diharapkan populasi luwak bertambah dan volume produksi kopi luwak juga bisa ditingkatkan.

"Luwak menjadi salah satu binatang paling istimewa dan patut mendapat perhatian karena mampu menghasilkan produk kopi mahal dan mampu mengharumkan nama Lampung Barat ke tingkat internasional," katanya.

Menurut dia, bila populasi luwak dapat terjaga, secara otomatis akan berdampak terhadap meningkatnya produksi kopi luwak.

"Saya berharap pengusaha dan masyarakat tidak lagi memburu dan membunuh luwak. Bila tidak diimbangi dengan penangkaran maka populasinya terancam punah. Perlu keseriusan pengusaha dan masyarakat untuk melaksanakan program ini," kata dia.

Sementara itu, para perajin menyebutkan cara penangkaran itu yang perlu diajarkan kepada masyarakat untuk mengurangi pemburuan luwak di kawasan hutan.

Biaya memelihara luwak juga cukup mahal, yakni berkisar Rp35.000- Rp50.000, untuk membeli buah kopi, buah pisang dan makanan lainnya, termasuk daging dan ikan.

"Selain makan buah-buahan, luwak ini di habitatnya di hutan juga makan daging. Jadi, sekali seminggu diberi makan daging ayam atau ikan. Karena berbiaya mahal, banyak perajin kopi luwak yang tak mampu memelihara luwak dengan baik, akibatnya hewan itu mati. Otomatis usahanya pun bangkrut," kata Gunawan lagi.

Sentra budi daya kopi luwak di Lampung Barat terletak di Kelurahan Way Mengaku, Kecamatan Balik Bukit Kabupaten Lampung Barat. Di daerah tersebut terdapat 20 lebih produsen kopi luwak.

Data Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat menunjukkan luas lahan tanaman kopi mencapai 60.347,7 hektare dengan hasil kopi kering mencapai 28.712 ton lebih pertahun.


Tetap Tinggi

Meski harga kopi luwak jauh lebih mahal dibandingkan harga kopi premium lainnya, para perajin kopi luwak menyebutkan permintaan atas bubuk kopi itu cenderung meningkat. Namun, mereka tetap terkendala permodalan dan hal teknis untuk mengekspornya.

"Kami tidak tahu bagaimana cara mengekspornya, padahal banyak permintaan dari luar negeri, seperi China dan Australia," kata salah satu pengusaha kopi luwak, Gunawan.

Kendala utama lainnya adalah permodalan untuk memenuhi permintaan tersebut, serta makin sulitnya mendapatkan luwak atau musang, meski Pemkab Lampung Barat sudah berupaya melakukan penangkarannya.

"Untuk memproduksi kopi luwak, kami sering melakukan tambal sulam dalam hal pembiayaannya," katanya.

Karena tidak mengerti tentang cara mengirimkan kopi luwak ke pasar ekspor, kopi luwak umumnya dibawa sebagai cindera mata oleh wisatawan yang berkunjung ke Lampung Barat.

"Seperti wisatawan dari China itu, begitu menikmati kopi luwak di rumahku kemarin, langsung membeli 2 kg bubuk kopi luwak untuk dibawa ke negaranya sebagai oleh-oleh," katanya.

Dia juga menyebutkan wisatawan dari Australia belum lama ini juga berkunjung ke rumahnya, yang juga sekaligus tempat penangkaran musang dan produksi kopi luwak, dengan membawa contoh kopi luwak yang dibelinya di luar Lampung.

"Setelah mencoba kopi luwak produksi Lampung Barat, ia akhirnya membeli 18 kg," katanya.

Ia kembali menyebutkan permintaan atas kopi luwak sebenarnya tinggi, namun mereka tidak mengerti tentang cara mengirimkannya.

Perajin kopi luwak di Kecamatan Balik Bukit Lampung Barat, Winarni, juga menyebutkan permintaan kopi luwak tetap tinggi, setidaknya 15 kg dalam seminggu.

Keuntungan membuat kopi luwak, menurut dia, memang lebih banyak, tetapi hal itu sebanding dengan proses pembuatannya yang lebih rumit.

"Biji kopinya dimakan luwak, keluar, kita cuci dan dijemur kering. Baru setelah itu, kita buang kulit ari kasarnya. Lantas cuci bersih lagi sampai kulit ari tipisnya hilang, dijemur lalu, baru digoreng," katanya.

Dari 1 kg buah kopi luwak, setelah diproses menjadi kopi bubuk hanya mencapai 0,25 kg. Padahal, harga buah kopi warna merah Rp6.000/kg dan biaya makan musang sehari puluhan ribu rupiah.

Selain hal pemasaran dan permodalan, mereka juga dihadapkan kepada masalah pemeliharaan luwak. Jika penangkaran luwak sukses maka produksi kopi luwak bisa ditingkatkan, dan otomatis harganya pun bisa turun sehingga volume penjualannya bisa ditingkatkan.

Untuk pasar ekspor, para perajin kopi luwak juga dihadapkan kepada masalah sertifikasi. Sehubungan itu, perlu ada sertifikasi sebagaimana dicanangkan Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Lampung.

Hal itu sangat perlu sehubungan menjamurnya kopi bubuk dengan mengklaim sebagai kopi luwak. Dengan adanya sertifikasi itu maka konsumen bisa mengetahui cita rasa kopi luwak asli dibandingkan dengan yang tidak bersertifikasi.

Selain itu, sertifikasi itu juga menjamin bubuk kopi tidak terkontaminasi kotoran, serta penangkaran luwak terjaga sehat. Dengan demikian, sertifikasi ini bisa juga memudahkan dalam proses ekspor kopi luwak.

Kopi luwak bukan lagi hanya ikon Lampung Barat, tetapi sudah ikon Lampung. Nama Lampung telah tersebar ke mancanegara karena produk kopi luwak.

Karena itu, pemerintah setempat dan semua pihak terkait sudah saatnya membantu para perajin dalam hal perbaikan produksi dan pemasaran kopi luwak, baik di dalam negeri maupun mancanegara, sekaligus mencegah kepunahan luwak.
(H009/Z003)

Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013