Ada semacam kerinduan GBHN yang pernah hidup pada era Soeharto, digelorakan kembali. MPR, yang dahulu bertugas menetapkan GBHN, harus memulainya,"
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifuddin mengatakan sejak Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen, rakyat Indonesia tidak punya persepsi yang sama terhadap tujuan bernegara, sehingga ada semacam kerinduan atas Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai penunjuk arah.

"Ada semacam kerinduan GBHN yang pernah hidup pada era Soeharto, digelorakan kembali. MPR, yang dahulu bertugas menetapkan GBHN, harus memulainya," kata Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifuddin dalam diskusi bertajuk "Urgensi dan Relevansi GBHN Masa Kini" di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Senin.

Diskusi Pilar Negara yang diselenggarakan oleh MPR menghadirkan Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifudin, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Politik Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris dan staf pengajar Universitas Indonesia (UI) Maswadi Rauf.

Lebih lanjut Lukman menyatakan, kerinduan akan adanya GBHN semakin membesar karena realitas kehidupan semakin kompleks.

"Banyak sekali persoalan bangsa karena perubahan yang cepat diperlukan acuan bersama terhadap arah tujuan negara," katanya.

Menurut politisi PPP ini, setelah MPR tidak memiliki kewenangan, siapa yang merumuskan lagi. Menurut Lukman, presiden harus merumuskan arah perjalanan bangsa dan MPR bisa saja ditugasi UU untuk menyiapkan rumusan GBHN-nya.

"MPR memiliki pemahaman untuk menangkap semangat konstitusi. Bisa saja UU menugaskan MPR menyiapkan GBHN dan yang menetapkan dan mengesahkannya adalah DPR bersama presiden," kata Lukman.

Sementara Syamsuddin Haris mengatakan, ketegasan pemimpin atau presiden akan menentukan kemana arah bangsa ini akan dibawa, baik di bidang hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya. Karena itu tambahnya tidak perlu lagi apa yang disebut GBHN, karena sudah ada Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang dirumuskan melalui visi dan misi capres terpilih dengan partai dan berbagai elemen masyarakat.

"Kebetulan Presiden SBY tak tegas, yang dibuktikan dengan 50 persen lebih instruksinya tidak efektif dan tak dijalankan, maka tak relevan ada isu perlu GBHN," katanya.

Menurut Syamsuddin, GBHN ini bukan solusi, tapi desain pemerintah hasil pemilu perwakilan ini memang tak efektif. Mestinya tidak efektifnya hasil pemilu 2009 itu akan menghasilkan pemerintahan, legislatif, dan partai politik yang tidak koruptif, melainkan sebuah pembangunan yang bermuara terhadap terwujudnya keadilan, kesejahteraan, pemerintahan yang bersih, dan stabilitas politik serta keamanan nasional.

Sedangkan Maswadi Rauf juga meyakinkan jika RPJPN itu sudah lebih lengkap dari GBHN. Hanya saja, kewenangan MPR RI memang dikurangi; diantaranya tak bisa langsung meng-impecahment atau memberhentikan presiden kalau melanggar RPJPN.

"Tapi, itu sebagai konskeuensi perubahan sistem politik. Oleh sebab itu ke depan dalam setiap pemilu, capres dan kepala daerah tak boleh mengeluarkan visi dan misi program pembangunannya yang menyimpang dari RPIPN. Capres dan kepala daerah wajib membaca RPJPN 20 tahunan itu sebelum membuat visi dan misinya," katanya.
(J004/Z003)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013