Keputusan MK ini sarat dengan terobosan hukum yang selama ini menjadi perdebatan"
Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (26/2) telah menentukan sikap terhadap nasib Piagam ASEAN yang digugat oleh sejumlah LSM hampir dua tahun yang lalu.

MK menolak klaim para pemohon bahwa Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD. Untuk sementara Pemerintah dapat bernafas lega dengan keputusan ini karena dapat dibayangkan jika keputusan bernada sebaliknya maka sulit bagi pemerintah menghindari kewajiban internasionalnya.

Namun dari sisi akademis, Keputusan MK ini sarat dengan terobosan hukum yang selama ini menjadi perdebatan, khususnya tentang politik hukum Indonesia terhadap perjanjian internasional.

Di kalangan akademisi selama ini tidak terlalu jelas terjawab apakah perjanjian internasional yang telah diratifikasi itu dapat langsung memiliki kekuatan hukum di Indonesia dalam wujudnya sebagai instrumen internasional, ataukah perjanjian itu harus dikonversi dulu dalam bentuk per undang-undangan untuk dapat berlaku di Indonesia.

Pakar hukum Indonesia terbelah dalam kedua kubu itu, yaitu antara kubu yang mengatakan bahwa Piagam ASEAN dalam karakternya sebagai perjanjian dapat berlaku di Indonesia, serta kubu yang mengatakan Piagam ASEAN perlu diberi jubah UU untuk dapat berlaku di Indonesia.

Keputusan MK dalam pengujian Piagam ASEAN telah menguak beberapa kabut yang selama ini mewarnai politik hukum Indonesia tentang perjanjian internasional.

Arah kiblat Indonesia tentang perjanjian internasional tampaknya mulai diindikasikan oleh MK, yaitu: pertama, MK berwenang untuk menguji Piagam ASEAN karena Piagam ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU No. 38/2008, dan karena piagam ini merupakan bagian dari UU maka otomatis MK memiliki kewenangan mengujinya.

Argumen yang sangat logis ini mungkin mudah dipahami. Namun dibalik argumen ini terdapat implikasi yang menorehkan suatu doktrin hukum tersendiri.

Selama ini, banyak kalangan yang menilai bahwa UU ratifikasi seperti UU No. 38/2008 bukan UU sebagaimana yang dikenal, melainkan hanya suatu bentuk hukum yang menjubahi persetujuan DPR terhadap rencana Presiden untuk membuat perjanjian internasional sesuai bunyi Pasal 11 UUD 45 (Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, damai dan membuat perjanjian dengan Negara lain).

Dua hakim konstitusi yang dalam "dissenting opinion" menekankan penafsiran ini.

Namun palu sudah diketuk dan MK dengan alur legalistis-nya mengatakan bahwa UU No. 38/2008 adalah UU dan tidak ada alasan untuk tidak memperlakukannya sebagai UU dan dengan demikian MK berwenang mengujinya.

Alur pikir yang logis ini memang sangat didukung oleh pemahaman umum tentang apa arti UU dan sistem perundang-undangan Indonesia memang membenarkan penafsiran logis ini.

Tetapi doktrin baru apa yang lahir dari amar putusan ini? Dengan keputusan ini maka doktrin yang dianut oleh Indonesia telah bergeser dari apa yang diwariskan oleh Belanda.

Selama ini, sesuai doktrin hukum Belanda, suatu perjanjian internasional dapat hadir di hukum Indonesia dalam formatnya sebagai perjanjian terlepas dari UU yang meratifikasinya.

Itulah sebabnya, buku wajib hukum tatanegara di Indonesia selalu mencantumkan Traktat sebagai salah satu sumber hukum terpisah dari UU.

Namun MK telah menoreh sejarah baru yaitu traktat berada dalam UU dan traktat itu tidak lain dan tidak bukan adalah UU yang meratifikasinya. Doktrin ini sangat dikenal dalam teori sebagai doktrin dualisme yang menekankan prinsip bahwa traktat dan hukum nasional berada pada ruang yang terpisah, sehingga untuk dapat berlaku di hukum nasional harus dituangkan dalam bentuk UU.

Sayangnya, pergeseran doktrin ini tanpa disadari bisa menimbulkan komplikasi tersendiri. Jika UU No. 38/2008 dianggap sebagai Piagam ASEAN dalam jubah nasional, maka tidak dapat dihindari bahwa Indonesia terikat pada Piagam ASEAN sebelum Piagam ASEAN itu sendiri berlaku.

Mengapa demikian? Karena UU No. 38/2008 mulai berlaku tanggal 6 November 2008 sedangkan Piagam mulai berlaku pada tanggal 15 Desember 2008.

"Ijin"
Berlakunya UU yang meratifikasi semua perjanjian selalu lebih dahulu dari perjanjian itu sendiri karena selama ini UU ratifikasi selalu dimaknai sebagai "ijin: DPR untuk Presiden meratifikasi Piagam sehingga menjadi logis bahwa UU ini berlaku terlebih dahulu sebelum Piagam ASEAN itu berlaku bagi Indonesia.

Hasil konstruksi ini tentunya sangat tidak logis dan tentunya tidak diinginkan oleh Indonesia karena bagaimana mungkin Indonesia terikat pada suatu perjanjian sebenarnya belum berlaku.

Kedua, MK menyatakan bahwa "Sekalipun Indonesia telah terikat dalam suatu perjanjian internasional, namun sebagai sebuah negara yang berdaulat Negara Indonesia tetap mempunyai hak secara mandiri (unilateral) untuk menarik diri dari perjanjian itu".

Selanjutnya MK mengatakan bahwa hal ini dimungkinkan dengan ketentuan Pasal 18 huruf h Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan, "Perjanjian internasional berakhir apabila: ... h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional".

Doktrin kedaulatan Negara ini sangat dikenal dalam politik internasional dan pernah berkembang pada periode awal abad ke 20 dalam hukum internasional yang dikenal dengan doktrin primat hukum nasional atas hukum internasional.

Namun sayangnya doktrin kedaulatan absolut ini sudah dikikis oleh hukum internasional yang berlaku dewasa ini.

Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional telah mengatur secara ketat bagaimana suatu Negara dapat menarik diri dari suatu perjanjian dan tidak lagi membuka ruang bagi tindakan unilateral penarikan diri sepanjang tindakan itu disetejui oleh para pihak perjanjian.

Selain itu, Konvensi ini melarang Negara mengingkari perjanjian dengan menggunakan tameng hukum nasionalnya. Indonesia pernah melakukan tindakan unilateral ini pada saat menarik diri secara sepihak dari kenggotaan PBB pada tahun 1965 namun hukum internasional tidak pernah mengakui sebagai penarikan diri yang sah, karena Piagam PBB tidak membuka ruang bagi penarikan diri sepihak.

Seorang pakar hukum, Egon Schwelb, menyebut penarikan diri Indonesia ini sebagai "the Indonesian Intermezzo".

Terlebih lagi, prinsip seperti yang dimaksud MK ini jelas tidak bisa lagi diterapkan.

Indonesia tidak mungkin membatalkan sepihak perjanjian perbatasannya dengan Negara tetangga dengan dalih kepentingan nasional.

Sebaliknya, Indonesia tidak mengharapkan Negara tetangga membatalkan perjanjian batas yang telah ada selama ini karena akan berpotensi pada konflik antar Negara. Bahkan, menurut Konvensi Wina, "perubahan fundamental" pun tidak dapat dijadikan alasan untuk mengkahiri perjanjian perbatasan.

Terlepas dari kontroversi ini, MK telah meletakkan fondasi baru yang memberi warna pada perdebatan akademis selama ini.

Sebagai Negara dengan bersupremasi konstitusi, fondasi baru ini perlu diformalisasikan dalam UUD 45 dengan mengubah Pasal 11 UUD 45.

Pasal kuno ini sudah tidak lagi aktual menyikapi perkembangan perjanjian internasional yang pesat, dan selama ini tampak membisu ditengah hiruk pikuk perdebatan para pakar tentang perjanjian internasional.

* Penulis adalah mantan Direktur Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri RI dan saat ini bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt. Artikel ini murni pandangan akademis penulis.

Oleh Damos Dumoli Agusman*
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013