Agar masyarakat terlindungi dari kepentingan-kepentingan yang sedikit-sedikit mengadukan ke ranah hukum
Jakarta (ANTARA News) - Dewan Pers menyosialisasikan hak jawab dan hak pencantuman ikon di media siber untuk mengedukasi masyarakat terhadap hak jawab yang tercantum dalam Undang-Undang Pers.

"Kami ingin mengembangkan lagi ikon aduan supaya orang-orang lebih ramah terhadap pengajuan hak jawab dan Undang-Undang pers," kata Ketua Hubungan Antarlembaga Dewan Pers Bekti Nugroho usai sosialisasi dengan beberapa media di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis.

Bekti menambahkan tujuan pengembangan ikon hak jawab media siber tersebut untuk mengedukasi masyarakat, pengguna media online, pembaca, pemirsa, serta pendengar untuk lebih ramah terhadap kebebasan berekspresi tanpa melanggar hak yuridisnya.

"Agar masyarakat terlindungi dari kepentingan-kepentingan yang sedikit-sedikit mengadukan ke ranah hukum, yakni ke kepolisian," katanya.

Wakil Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers itu mengakui jika menuntut adalah hak konstitusional masing-masing warga negara, tetapi negara yang berdemokrasi itu belum tentu kebebasan persnya terjamin.

"Harusnya kebebasan pers itu tidak dilarikan ke ranah konstitusi," katanya.

Menurut dia, pendidikan pers itu merupakan tolok ukur kebebasan berekspresi.

Bekti mengatakan Dewan Pers akan menggelar rapat pleno pada Jumat (8/3) dan mulai menyurati setiap media untuk membuat ikon hak jawab tersebut pada pekan depan.

Dia menjelaskan Dewan Pers tidak akan menjatuhkan sanksi hukum kepada media yang tidak menjalankan usulan tersebut.

"Rezim pers itu kan rezim etis, yakni berkaitan dengan kesadaran jadi tidak ada sanksi hukum dan kami juga tidak bisa memaksa," katanya.

Dia menyebutkan ranah pers tersebut berbeda dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mempunyai sanksi hukum dan bisa mencabut izin siar bagi yang melanggarnya.

Bekti juga menegaskan ikon hak jawab tersebut hanya bersifat institusional, yakni berkaitan langsung dengan perusahaan media, bukan media yang dibuat oleh perseorangan, seperti "blogger".

"Blogger itu bukan wartawan karena tidak ada yang melindungi. Kalau ada aduan yang bertanggung jawab dirinya sendiri karena dia tidak bekerja untuk perusahaan media tersebut," katanya.

Dia menilai banyak anggapan yang salah dengan "citizen journalism".

"Mengapa pers memiliki akses yang luar biasa, karena haknya dijamin undang-undang. Apakah orang-orang yang bisa masak disebut juru masak? Karena itu, wartawan adalah profesi dan kita harus profesional," katanya.

Bekti mengatakan ke depan Dewan Pers berniat membuat "teleconference" agar bisa ditangani secara langsung dan cepat jika ada berbagai pengaduan.
(J010/S024)

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2013