Jakarta (ANTARA News) - Peristiwa 10 November 1945 dan penyobekan bendera merah-putih-biru menjadi Sang Merah Putih adalah salah satu kejadian heroik yang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa. Foto Arek-Arek Suroboyo menaiki atap Gedung Oranje seringkali menjadi sampul buku sejarah.

Bagi para pelaku, peristiwa 10 November tentu merupakan salah satu kisah heroik yang sering diceritakan kepada anak-anaknya. Salah satu anak pelaku sejarah Surabaya adalah Bagas Dwi Bawono, penulis cerita pendek "Hasduk Berpola" yang kemudian difilmkan ke layar lebar.

Film "Hasduk Berpola" menceritakan tentang Masnun (Idris Sardi), veteran tentara pelajar berusia 74 tahun, yang bekerja sebagai buruh pertambangan minyak tradisional di Bojonegoro. Di kota itu, dia tinggal bersama anaknya, Rahayu (Iga Mawarni) beserta dua cucunya, Budi (Bangkit Prasetyo) dan Bening (Fay Nabila).

Mereka tinggal dalam kemiskinan di kota itu. Masnun yang sudah tidak kuat lagi menjadi buruh tambang, di tengah harapannya bisa menerima uang pensiun veteran, memilih beralih menjadi tukang tambal ban. Sementara Rahayu bekerja di sebuah warung nasi rawon milik Bu Haji dan menerima jahitan.

Seringkali, mereka makan nasi dengan kuah rawon sisa yang dibawa Rahayu setiap sore. Bila tidak ada sisa rawon yang bisa dibawa, sementara dia tak punya uang, Rahayu pun hanya menyajikan nasi dengan parutan kelapa dan garam.

"Waktu kecil, ini menu kesukaan ibu. Ayo dicoba," kata Rahayu menghibur kedua anaknya.

Di tengah kemiskinan, Budi yang berusia 12 tahun pun tumbuh sebagai anak yang cukup bengal. Musuh bebuyutannya adalah Kemal yang dianggap sebagai penghalang utamanya untuk mendekati Arum, teman sekolah yang dia sukai. Kemal dan Arum sama-sama aktif di kegiatan Pramuka.

Dengan niat mendekati Arum dan bisa menyaingi Kemal, Budi pun memutuskan untuk menjadi Pramuka. Sayang, dia tidak memiliki atribut Pramuka yang lengkap, yaitu baret dan hasduk merah putih. Padahal, dia terpilih untuk mengikuti jambore dan harus beratribut lengkap.

Cerita "Hasduk Berpola" berpusat pada upaya Budi memiliki hasduk. Untuk mendapatkan uang, dia bekerja sebagai kuli pengangkut bawang di pasar. Untuk menambah uang, dia pun rela menjual layang-layang bergambar wayang buatan ayahnya.

Di bagian lain, Budi mendengar kisah masa lalu Masnun yang terlibat dalam peristiwa perobekan bendera merah-putih-biru di atap Gedung Oranje. Saat itu, dia bersama rekan seperjuangannya, Ali, mendapat tugas membawa Sang Merah Putih untuk dikibarkan di atap Gedung Oranje.

Nahas, Ali terkena berondongan peluru tentara Belanda. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Ali berpesan kepada Masnun. "Kibarkan Sang Merah Putih di sana," katanya sambil menunjuk di atap Gedung Oranje.

Namun, karena suasana "chaos" saat itu, Masnun tidak menuju ke atap Gedung Oranje, sehingga pemuda-pemuda Surabaya yang sudah naik pun akhirnya memutuskan untuk merobek warna biru pada bendera Belanda dan mengibarkan kembali sebagai Sang Merah Putih.

"Bendera ini adalah saksi bahwa aku pengecut. Mungkin sampai kapan pun, janjiku kepada Mas Ali tidak akan bisa aku tepati," kata Masnun kepada Budi sambil memeluk bendera yang sudah berlubang-lubang bekas peluru itu.

Bagaimana Budi mendapatkan hasduk untuk mengikuti jambore? Mengapa pula disebut hasduk berpola? Lalu, untuk apa Budi nekad menerobos masuk ke Hotel Majapahit Surabaya? Jawabannya tentu ada di film "Hasduk Berpola".

Bagas Dwi Bawono mengatakan dia membuat cerita pendek "Hasduk Berpola" karena keprihatinannya terhadap mulai lunturnya rasa nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia. Hal itu, sangat bertolak belakang dengan apa yang diajarkan ayahnya.

"Kalau saya dulu menjatuhkan bendera merah putih, ayah akan menempeleng saya. Katanya, dulu para pejuang mempertaruhkan nyawa demi kehormatan merah putih, enak saja setelah merdeka begitu mudahnya merah putih menyentuh tanah," katanya.

Apalagi, pada 2009 sempat ada berita bahwa Sidang Paripurna DPR yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lupa menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya".

"Saya pikir sungguh keterlaluan sekali. Di acara kenegaraan yang penting seperti itu, pejabat-pejabat kita lupa menyanyikan lagu Indonesia Raya," tuturnya.

Sebagai anak veteran yang ikut bergerilya dari Madiun hingga Surabaya, Bagas sering mendengar kisah perobekan bendera di Surabaya pada 1945. Dari kisah itulah, dia kemudian membuat novel dengan sedikit latar belakang sejarah saat itu.

"Latar belakang sejarah itu dalam cerita itu saya sesuaikan dengan apa yang dikisahkan ayah saya dulu. Jadi cerita ada yang membawa bendera merah putih itu saya pikir juga tidak terlalu fiktif," katanya.

Peristiwa penyobekan bendera dalam berbagai buku sekolah memang tidak pernah menceritakan adanya pemuda yang sudah menyiapkan bendera merah putih. Buku sejarah menyebutkan, kejadian itu adalah aksi spontan dari Arek-Arek Suroboyo yang marah karena orang-orang Belanda yang menduduki Gedung Oranje mengibarkan merah-putih-biru.

Sutradara film "Hasduk Berpola" Harris Nizam mengatakan motivasinya menggarap film tersebut karena menganggap hal itu merupakan cara paling mudah dan sederhana untuk mencintai Indonesia.

"Saya tidak mau sok-sokan bicara soal nasionalisme yang terlalu berlebihan, tetapi bagaimana kita memaknai Sang Merah Putih dan lagu kebangsaan `Indonesia Raya`," katanya.

Menurut Harris, cara termudah untuk mencintai Indonesia adalah dengan bisa menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dengan baik. Karena itu, dia merasa prihatin dengan banyaknya generasi muda yang tidak hafal dengan lirik lagu "Indonesia Raya".

"Kalau generasi muda sudah mulai tidak mencintai dan memahami `Indonesia Raya`, maka negeri ini akan hancur," ujarnya.

Film itu memang layak ditonton, terutama bagi generasi muda dan anak-anak. Di sisi lain, film itu juga ingin mengampanyekan manfaat mengikuti Pramuka, sehingga Gerakan Pramuka pun bersedia membantu peredaran film tersebut dengan pemutaran di beberapa daerah.

Yang paling menarik, Idris Sardi, sang maestro biola Indonesia,  tidak hanya bermain peran di film itu tetapi juga menampilkan alunan gesekan biolanya.

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013