Mahalnya harga bawang putih, bawang merah, dan beberapa komoditi lainnya dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah terhadap para petani. Akibatnya petani yang dirugikan. Hal ini salah satu penyebab petani enggan menanam bawang, sehingga suplai terba
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat pertanian Ahmad Yakub berpendapat pemerintah harus bisa mengatasi ketergantungan impor pangan sehingga tidak ada lagi kenaikan harga bawang putih, bawang merah, dan beberapa komoditi lainnya dalam beberapa hari belakangan ini.

"Mahalnya harga bawang putih, bawang merah, dan beberapa komoditi lainnya dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah terhadap para petani. Akibatnya petani yang dirugikan. Hal ini salah satu penyebab petani enggan menanam bawang, sehingga suplai terbatas," ujar Ahmad Yakub yang dihubungi di Jakarta, Minggu.

Di sisi lain, kata dia, kementerian pertanian (Kementan) membatasi impor karena sebagian petani menikmati kenaikan harga hortikultura.

"Tetapi itu kan tidak sepanjang tahun. Ini hanya spekulasi. Padahal yang dinginkan petani dan konsumen adalah harga yang stabil," kata dia.

Ia menjelaskan petani lebih memilih menanam padi daripada bawang atau cabai, karena pemerintah hanya menerapkan aturan harga pembelian pemerintah (HPP) beras. Padahal, bawang dan cabai merupakan tanaman yang sensitif terhadap alam dan harga.

Karena itu ada tiga hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi ketergantungan pangan atas impor. Pertama, ketersediaan benih dan pupuk baik organik dan nonorganik harus tepat waktu agar dapat meningkatkan produksi.

"Terkait dengan produksi, ketersediaan benih dan pupuk baik pupuk organik maupun nonorganik kurang tepat waktu. Sementara itu, teknologi untuk produksi yang digunakan petani tidak berkembang sejak dulu," kata Ahmad Yakub.

Menurut dia, itu semua karena pemerintah tidak memahami bahwa pertanian Indonesia ini skala kecil dan berbasis keluarga. Jadi, jangan diperkenalkan dengan teknologi mesin tanam seperti di negara lain yang harganya miliaran rupiah,

"Itu tidak masuk akal. Teknologi yang memungkinkan bagi kita adalah bersifat kolektif atau komunitas," kata dia.

Kedua, lanjutnya, selama ini banyak lahan pertanian yang dikonversi menjadi lahan nonpangan, seperti digunakan untuk infrastruktur, perkebunan, perumahan, dan pembangunan lainnya.

"Di Indonesia ini terjadi konversi lahan. Berdasarkan data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Pertanian (Kementan) ada sekitar 150 ribu hektare lahan pertanian yang dikonversi menjadi lahan nonpertanian pertahun," kata dia.

Jika lahan tersebut dikonversi dengan sawah, maka hasilnya akan besar. Seandainya dalam setahun panen hingga dua kali, maka luas penanamannya sekitar 300 ribu hektare.

"Kalau sekali tanam dapat lima ton per ha, berarti ada sekitar 1,5 juta ton per tahun dari 300 ribu ha untuk beras," kata dia.

Yang terakhir, lanjutnya, harus ada aturan tata niaga yang jelas karena petani akan menjadi korban pertama jika harga hasil pertanian turun. Hal ini disebabkan tidak ada insentif dari pemerintah. Kalau pun ada, itu tidak menjangkau seluruh petani.

Sebelumnya, Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo) mengatakan kenaikan bawang merupakan ulah mafia. Keberadaan mafia yang mempermainkan harga bawang di dalam negeri ini diindikasikan dari hasil penelusuran yang dilakukan Gisimindo di sejumlah pelabuhan.

Ketua Umum Gisimindo Bob Budiman mengatakan mafia bawang tersebut yang membuat harga melambung. Dari Cina, bawang putih dihargai sebesar Rp10 ribu/kilogram. Di tingkat pengecer, kisaran harga bawang putih mencapai Rp 19 ribu hingga Rp20 ribu.

"Ini jelas melibatkan oknum," ujar Bob saat ditemui di Gedung DPR, Senin (18/3).

Penelusuran Gisimindo menemukan sekitar 50 kontainer bawang putih keluar dari Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara sejak tanggal 6 Maret 2013. Sedangkan rekomendasi kuota impor bawang putih baru dikeluarkan pemerintah tanggal 7 Maret 2013. Satu kontainer diketahui berisi hingga 25 ton bawang putih.

(A063/I007)

Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2013