Apalagi, UU Advokat harus harmonis dengan UU KUHP, sehingga bila RUU Advokat dibahas lebih dulu, maka bila terjadi ketidakharmonisan dengan RUU KUHP yang dibahas belakangan akan timbul masalah,"
Surabaya (ANTARA News) - Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) menyatakan ketidaksetujuannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat, karena RUU KUHP dan RUU KUHAP dinilai jauh lebih mendesak daripada RUU Advokat.

"Apalagi, UU Advokat harus harmonis dengan UU KUHP, sehingga bila RUU Advokat dibahas lebih dulu, maka bila terjadi ketidakharmonisan dengan RUU KUHP yang dibahas belakangan akan timbul masalah," kata Ketua Umum Ikadin Otto Hasibuan di Surabaya, Jumat.

Ia mengemukakan hal itu dalam sambutan pada Musyawarah Nasional VII Ikatan Advokad Indonesia (Ikadin) di Surabaya yang dibuka Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin dan dihadiri ratusan anggotanya dari 113 cabang se-Indonesia.

Dalam acara yang dihadiri Gubernur Jatim Soekarwo dan Sekjen DPN Peradi Hasanuddin Nasution, ia menegaskan bahwa para advokat yang memiliki delapan organisasi saat ini juga bersatu dalam Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia).

"Karena itu, kami menolak RUU Advokat itu, karena urgensi RUU Advokat itu semakin tidak ada, apalagi Ikadin sebagai organisasi advokat tertua justru mendukung Peradi, bahkan keterwakilan organisasi advokat di tingkat internasional juga sudah direlakan Ikadin kepada Peradi," katanya.

Selain menolak RUU Advokat, Ikadin juga menolak pasal tentang santet dalam RUU KUHP. "Itu karena pasal santet akan mengalami kesulitan dalam pembuktian dan pasal itu sama halnya dengan menghidupkan pemikiran yang tidak logis di tengah-tengah masyarakat," katanya.

Menanggapi penolakan RUU Advokat itu, MenkumHAM Amir Syamsudin menilai catatan Ikadin tersebut akan menjadi masukan yang bermanfaat untuk pemerintah.

"Catatan itu akan menjadi masukan yang bermanfaat bagi kami, nantinya akan kami bicarakan dengan DPR RI," kata menteri yang juga pernah menjadi pengurus Ikadin itu.

Dalam kesempatan itu, Gubernur Jatim juga berharap peserta Munas VII Ikadin di Surabaya mengusulkan perlunya rekomendasi untuk memasukkan nilai-nilai sosiologis dalam hukum, sehingga konflik administrasi dalam tataran kebijakan masuk ke ranah bukan pidana.

"Kalau konflik administrasi dimasukkan ranah pidana tentu masuk penjara akibat tuduhan korupsi, padahal konflik administrasi itu cukup dengan perubahan kebijakan seperti halnya gugatan di Mahkamah Konstitusi atau paling tidak cukup dengan ganti rugi, bukan penjara," katanya.

Munas VII Ikadin yang berlangsung selama dua hari pada 5--6 April 2013 itu akan membahas sejumlah agenda, seperti pemilihan ketua umum, revisi AD/ART, serta sejumlah rekomendasi, di antaranya penolakan Ikadin terhadap RUU Advokat.

Pewarta: Edy M Ya`kub
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013