Jakarta, 17/4 (ANTARA) - Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/CBD) melalui Undang-undang No.5 Tahun 1994 berkewajiban untuk melakukan usaha menghindari introduksi spesies asing invasif (Invasive Alien Species/IAS) melalui kegiatan pengendalian dan pemusnahan IAS yang ternyata merusak ekosistem, habitat hidup, dan keanekaragaman species asli. "Dalam hal sumberdaya hayati perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup sebagai focal point pelaksanaan ketentuan tentang CBD di Indonesia telah memberikan mandat kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP ), khususnya terkait penanganan dan pengelolaan Spesies Asing Invasif (SAI) sumberdaya perikanan. Untuk itu, KKP berkewajiban untuk mengembangkan strategi nasional pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati perikanan secara berkelanjutan". Demikian dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo, ketika membuka Seminar Internasional tentang Ancaman Spesies Asing Invasif Terhadap Kelestarian Sumberdaya Ikan di Indonesia, di Jakarta. (17/04)

     Sharif menjelaskan, pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa introduksi ikan asing invasif terbukti dapat mendesak populasi ikan asli yang ada, menguasai lingkungan perairan, menekan populasi dan bahkan memusnahkan ikan asli yang ada, serta menyebabkan masuk dan tersebarnya penyakit ikan dan hama baru. Misalnya, introduksi ikan Redbreast Sunfish ke beberapa danau di Italia menyebabkan populasi ikan Alburnus alburnus berkurang drastis. Begitu juga dengan introduksi ikan Salmo truta ke perairan Selandia Baru menyebabkan populasi jenis ikan grayling turun drastis, dan masih banyak contoh-contoh lainnya. Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap 31 studi kasus introduksi ikan asing menunjukkan bahwa 77% introduksi ikan asing mengakibatkan penurunan populasi ikan asli. "Penurunan populasi merupakan proses awal menuju kepunahan species tertentu yang mengakibatkan penurunan keanekaragaman hayati yang berakhir dengan terbentuknya komunitas ikan yang homogen, yang didominasi oleh ikan asing",tandasnya.

     Introduksi  ikan asing di Indonesia diketahui dimulai sebelum abad 18. Saat ini, tercatat ada 24 jenis ikan asing telah diintroduksikan ke Indonesia dengan tujuan untuk memperbaiki komunitas ikan di perairan umum dan memperbanyak jenis ikan budidaya yang unggul. Beberapa diantaranya adalah ikan Mas, Gabus, Koan Rumput, dan Mas Koki, di mana semuanya berasal dari China. Selain itu, Sepat Siam dan Jambal Siam dari Thailand, Tilapia Merah dari Philipina, Bawal Air Tawar dari Brazil, serta Udang Vanamei dan Udang Stylirostris dari Amerika Serikat. Bersamaan dengan datangnya jenis - jenis ikan asing tersebut, ternyata masuk pula jenis - jenis penyakit asing eksotik yang kemudian menyerang ikan-ikan budidaya maupun ikan perairan umum. "Beberapa jenis penyakit eksotik yang diketahui masuk ke Indonesia ada 13 jenis, antara lain: Lerneae cyprinacea pada ikan Mas, Viral Nervous Necrosis Virus (VNNV) pada ikan Kerapu, Koi herpesvirus (KHV) pada ikan Koi dan Mas, White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan taura Syndrome Virus (TSV) pada udang",jelas Sharif.

   
Dampak

     Menurut Sharif, dampak negatif introduksi ikan asing, telah dirasakan di Indonesia dan banyak Negara.  Meledaknya populasi ikan Sapu - sapu, Keong Mas dan ikan Mujair di beberapa perairan umum menunjukkan adanya dominasi dan ketidak seimbangan populasi yang  dapat menurunkan populasi bahkan mungkin kepunahan species ikan asli di perairan. Populasi ikan Mujair di Waduk Cirata semakin berkurang, tapi ironisnya populasi ikan Louhan meningkat, sedangkan di waduk Sempor, Jawa Tengah, ikan  Wader dan ikan Betik yang dulunya berlimpah sekarang sudah jauh berkurang, dan sebaliknya ikan Oscar dan Louhan banyak ditemukan. "Ikan-ikan asli di perairan Bangka seperti Belida, Tapah, sekarang populasinya tergusur oleh ikan Toman yang dahulu ditebarkan sebagai upaya reklamasi bekas galian tambang," katanya.

     Ditambahkan, populasi ikan Depik, ikan asli danau Laut Tawar, Aceh  mulai terdesak oleh ikan Nila yang diintroduksikan ke danau tersebut. Ikan setan merah (red devil) yang masuk secara tidak sengaja bersama aneka jenis benih ikan di waduk Sermo, Yogyakarta populasinya semakin tidak terkendali, memangsa ikan lain seperti ikan Mas, Tawes, Nila di waduk tersebut. Setelah 10 tahun sejak ikan itu masuk ke waduk tersebut, hasil tangkapan semakin menurun dan sekitar 75% dari hasil tangkapan adalah ikan red devil. Saat ini ikan tersebut juga semakin mengancam populasi ikan lain di Waduk Cirata, dan Kedung Ombo. "Contoh lain, Lobster air tawar Cherax quadricarinatus yang diintroduksikan ke danau Maninjau, Sumatera Barat dikhawatirkan akan menjadi jenis invasif karena lobster ini mempunyai laju pertumbuhan dan fekunditas yang superior," tambah Sharif.

     Dampak ekonomi yang disebabkan species ikan asing invasif terhadap kerusakan lingkungan belum banyak dipelajari. Secara umum, dampak ekonomi tersebut untuk biaya kerusakan pada badan kapal dan peralatannya, berkurangnya nilai estetika dan rekreasi serta kerugian akibat rusaknya sumber perikanan dan budidaya. Dari sisi lingkungan, adalah rusaknya keseimbangan ekologi dan penurunan populasi ikan asli  di suatu perairan. Kerugian ekonomi yang diakibatkan gulma eceng gondok yang mencemari perairan belum pernah dilakukan penghitungan. Sebagai perbandingan, kerugian akibat gulma eceng gondok di Afrika diperkirakan mencapai US $ 60 juta. "Kerugian ekonomi terbesar terjadi tahun 1999 yaitu sebesar US$ 500 juta, dimana hanya sekitar 20% tambak udang yang beroperasi akibat wabah penyakit White Spot Syndrome Virus. Sedangkan kerugian yang ditimbulkan akibat wabah Koi herpes virus yang menyerang ikan Mas dan Koi diperkirakan mencapai US$ 10 juta per tahun," tandas Sharif.
   
Blue Economy

     Sharif memaparkan, Indonesia dikenal dunia sebagai negara yang mempunyai keanekaragaman hayati terbesar (mega biodiversity) kedua setelah Brazil, mempunyai sekitar 25.000 spesies tanaman dan 400.000 jenis hewan. Dari jumlah tersebut diketahui sekitar 3.000 spesies adalah ikan. Selain itu, laut nusantara memiliki sekitar 85.707 km2 terumbu karang atau sekitar 14% dari luas terumbu karang dunia, rumput laut (makro alga) lebih dari 700 jenis; moluska lebih dari 2.500 jenis; karang batu lebih dari 450 jenis; dan ekinodermata lebih dari 1.400 jenis, sehingga tidak berlebihan apabila laut nusantara dikenal dengan istilah marine mega diversity. Kekayaan sumberdaya hayati perikanan tersebut merupakan modal dasar pembangunan nasional, yang digunakan sebesar - besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Berkaitan dengan upaya peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tersebut, dengan mengedepankan empat pilar strategi pembangunan sosial-ekonomi, yaitu pro-growth, pro-poor, pro-job, dan pro-environment, KKP melaksanakan kebijakan percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan. "Industrialisasi ini dimaksudkan untuk mengakselerasi peningkatan produksi dan nilai tambah produk kelautan dan perikanan. Dengan akselerasi ini, sektor kelautan dan perikanan ditargetkan mampu memiliki daya saing dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi yang pada akhirnya memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat", tandas Sharif.

     Kebijakan percepatan pembangunan kelautan dan perikanan melalui industrialisasi tersebut, pada hakekatnya didasarkan pada konsep blue economy. penerapan konsep blue economy dalam industrialisasi kelautan dan perikanan adalah sangat penting, karena untuk mengoreksi pola industrialisasi konvensional yang sering merusak lingkungan, boros sumberdaya dan energi, dan menimbulkan kesenjangan sosial. Dengan blue economy diharapkan dapat mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien, tanpa limbah, namun dapat melipatgandakan manfaat ekonomi, membuka lapangan kerja lebih luas, meningkatkan pendapatan masyarakat dan sekaligus melindungi lingkungan dari kerusakan. Sebagai contoh, dalam perikanan tangkap, misalnya, prinsip kelestarian dalam pemanfaatan sumberdaya hayati perikanan dilakukan melalui upaya pemanfaatan berbasis pada total allowable catch (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) untuk menghindari terjadinya tangkapan berlebih (over fishing).

     Disamping itu, untuk menghindari terjadinya over fishing, dengan tetap mengacu pada prinsip jumlah tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield), salah satu upaya untuk mempertahankan jumlah ketersediaan stock ikan di suatu perairan adalah melakukan pengkayaan stock dalam bentuk kegiatan stocking atau restrocking. Upaya pengkayaan stock atau populasi ikan di suatu wilayah perairan dilakukan antara lain dengan mendatangkan atau introduksi jenis - jenis ikan unggul dari luar negeri. "Upaya restrocking ini di beberapa negara mampu meningkatkan hasil tangkapan secara signifikan. China dan Vietnam,misalnya,tahun 1999 berhasil meningkatkan hasil tangkapan sebesar 20%. Demikian halnya yang dilakukan Norwegia, dapat meningkatkan hasil tangkapan sebesar 30%", jelas Sharif

     Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Indra Sakti, SE, MM, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (HP.0818159705)

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2013