Jakarta (ANTARA News) - Selama hidupnya kedua tersangka pelaku Bom Maraton Boston, menyaksikan tanah air mereka, Chechnya, diinvasi Rusia dua kali. Invasi ini menghasilkan satu dari sekian pertumpahan darah terburuk di Eropa dalam beberapa generasi terakhir. 

Bukan itu saja, konflik ini juga melahirkan para pejuang yang tega melancarkan serangan mengerikan kepada warga sipil.

Sejauh ini memang tidak ada yang menyatakan bertanggungjawab atas serangan bom di Boston lalu atau bukti yang tersingkap ke publik mengenai motif dua tersangka pelakunya yang adalah dua bersaudara, Tamerlan dan Dzhokhar Tsarnaev.

Keduanya meninggalkan jejak di Internet.  Di situ disebutkan mereka berdua adalah muslim yang taat, bangga pada leluhurnya bangsa Chechen dan mendukung tuntuan kemerdekan wilayahnya dari Moskow.

Kendati belum jelas benar apakah mereka pernah tinggal di Chechnya, namun keduanya terdaftar di satu sekolah di Dagestan, sebuah republik di bawah kekuasan Rusia yang bertetangga dengan Chechnya dan ikut terjerumus dalam konflik Chechnya pada 1990-an dan sejak itu menjadi titik api perlawanan mendidih kaum Islam fanatik.

Kedua provinsi (Rusia menyebutnya republik otonom) adalah bagian dari Kaukasus Utara, sebuah kawasan pegunungan di Rusia selatan yang sebagian besar pendukunya kaum muslim yang minoritas di Rusia.

Sejak berabad-abad mereka memberontak dari Moskow dan menentang penindasan brutal Rusia di wilayah mereka.

Di masa kekuasaan Tsar, tentara Rusia berperang tanpa henti melawan para pejuang Chechen, Dagestan, Ingush dan kelompok etnis lainnya.

Lalu di bawah kekuasaan Joseph Stalin, seluruh warga Chechen dideportasi ke Asia Tengah yang jauh dari tanah kelahiran mereka.

Dibesarkan di Kyrgystan

Kendati sebagian dari mereka kembali ke Chechnya dan sebagian lagi menetap di Asia Tengah, ada laporan yang menyebutkan bahwa Tsarnaev Bersaudara dibesarkan di Kyrgyzstan, Asia Tengah.

Ketika Uni Soviet pecah pada 1991, bangsa Chechen menuntut kemerdekaan seperti penduduk 14 republik Soviet yang lepas dari orbit Moskow. Namun Moscow memutuskan memerangi Chechen ketimbang melepaskan mereka.

Reuters melaporkan, Dzhokhar Tsarnaev dilahirkan pada 1993 ketika Chechnya tengah berjuang menuntut merdeka. Nama depannya diambil dari nama Dzhokhar Dudayev, pemimpin pemberontak Chechnya yang ingin memisahkan diri dari Rusia.

Dudayev terbunuh oleh satu peluru kendali Rusia pada 1996 ketika pasukannya mengalami kekalahan memalukan dari pasukan Rusia.

Moskow menarik pasukannya dari sana setelah berperang selama dua tahun namun Vladimir Putin yang kala itu perdana menteri, menggelarkan lagi tentaranya di sana pada 1999.

Misi Putin adalah menghancurkan gerakan kemerdekaan dan menempatkan seorang loyalis untuk memimpin Chechnya yang anaknya kini memerintah dengan semena-mena.

Dua kali perang Chechen telah membunuh puluhan ribu warga sipil, terutama akibat bombardemen Rusia ke ibukota Grozny dan desa-desa di pegunungan. Ratusan ribu orang lainnya terusir dari rumah mereka.

Selama dan setelah dua perang itu, para pejuang Chechen dengan cepat beralih mengadopsi retorika Islam fanatik dan taktik lebih mengerikan seta lebih berani dengan menyerang ke wilayah Rusia.

Berulangkali mereka menyerang warga sipil lewat pemboman massal dan penyanderaan.

Vladimir Putin

Pada 2002 para pejuang Chechen menguasai satu gedung teater di Moskow. Tentara Rusia menyerbunya, dan 129 sandera serta 41 gerilyah Chechen terbunuh.

Serangan Chechen lalu berpuncak ke penyanderaan sebuah sekolah dasar di kota Beslan di luar Chechnya pada 2004. 

Mereka memasangi sekolah ini dengan bahan-bahan peledak dan menyandera anak-anak. Dan ketika tentara Rusia menyerbu gedung sekolah ini, 331 sandera terburnuh dan separuhnya adalah anak-anak.

Kini, serangan bom di Boston hanya menguatkan klaim Putin yang kini Presiden Rusia, bahwa kaum separatis Chechen adalah tak lebih dari teroris, selain menjadi jalan bagi Putin untuk meminta dukungan Barat di Chechnya.

Saat ini pun, wilayah Kaukasus Utara masih bergejolak oleh pemberontakan yang dipimpin satu kelompok muslim garis keras bernama Emirat Kaukasus.

Kelompok ini dipimpin mantan komandan pasukan gerilya kemerdekaan, Doku Umarov.  Kebanyakan kekerasan berpusat di Dagestan.

Emirat Kaukasus mengaku bertanggungjawab atas bom bunuh diri di bandara Domodedovo Moskow pada Januasi 2011 yang menewaskan 37 orang, dan bom bunuh diri di subway Moskow yang menewaskan 40 orang pada 2010.

Keamanan pun menjadi isu paling penting dalam Olimpiade Musim Dingin 2014, yang akan diadakan di Sochi, sebuah tempat damai di Kaukasus Utara yang jaraknya ratusan mil dari Chechnya.

Dalam laman media sosialnya, pembom Maraton Boston Dzhokhar Tsarnaev menyampaikan lelucon mengenai reputasi orang Kaukasus Utara dalam konflik melawan pihak berwenang.

Leluconnya begini; "Sebuah mobil ditumpangi seorang Chechen, seorang Dagestan dan seorang Ingush. Pertanyaannya: Siapa yang menyopiri mobil itu?" Jawabnya: polisi, demikian Reuters.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013